Saturday, December 24, 2005

Mengenal Teknologi Ballapress di TPST Bojong

Kamis, 25 November 2004 | 14:33 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Dasar penolakan warga Bojong atas keberadaan Tempat Pengolahan sampah Terpadu (TPST) adalah lokasi tersebut akan bernasib sama dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Padahal TPST dan TPA adalah dua konsep pengolahan sampah yang sangat berbeda.

TPA Bantar Gebang merupakan sanitary landfill, yaitu penimbunan sampah dengan lapisan tanah. Metode ini berakhir dengan pencemaran air tanah dan pencemaran udara (bau). Pencemaran keduanya, menurut peneliti dan ahli lingkungan BPPT, Henky Sutanto, karena tanah tidak dilapisi dengan lapisan yang kedap air. Sedangkan bau diakibatkan proses pembusukan sampah bocor ke udara.

Dua pencemaran yang terjadi di Zona 1 TPA Bantar Gebang, diyakini Direktur Utama PT Wira Guna Sejahtera Sofyan, tidak akan terjadi di TPST Bojong. Di sini, sampah diolah dengan menerapkan sistem daur ulang, kompos, dan pembakaran. Sisa sampah yang tak terolah akan diamankan teknologi bala press. Cara kerjanya: truk menuangkan
sampah dari Jakarta ke bak penampungan di gudang tertutup, lalu mesin memisahkan sampah basah organik dari sampah kering non-organik.

Sampah organik diolah menjadi kompos. Sampah non-organik masuk ke konveyor (ban berjalan). Saat ban bergerak, pekerja memilah sampah berharga untuk didaur ulang. Sampah yang bisa terbakar masuk ke mesin pembakar bertemperatur tinggi (incinerator). Sisa yang tak mungkin diolah baru masuk ke mesin bala press.

Nah, mesin bala press akan memadatkan dan mengemas sampah dalam bentuk bal-bal bulat. Bal sampah dibungkus plastik film berwarna putih yang tahan lama, kedap udara, dan tak tembus air. Bulatan berdiameter 1,2 meter itu lalu ditimbun dan ditutup tanah. Dalam waktu 25 tahun, bukit sampah bisa ditanami dan dimanfaatkan
sebagai hutan buatan atau arena perkemahan.

Di Bojong sudah tersedia dua incenerator besar, yang akan mampu membakar sampah sebanyak 1.000 ton perhari, dari hasil pembakaran ini akan menghasilkan pupuk kompos, sedangkan sampah lainnya akan diolah dibungkus dengan mesin balla pres. Prinsipnya tidak ada sampah yang tersisa ataupun menumpuk, sehingga tidak akan menebarkan bau.

PROSES PENGEPRESAN BALA

Teknologi utama pemrosesan sampah dengan cara ini adalah mesin yang berfungsi memadatkan dan membentuk sampah menjadi bola (bal). BALA adalah nama perusahaan Swedia, yang pabriknya berlokasi di Nossebro, dekat Gothenburg. Perusahaan ini berpengalaman 15 tahun dalam merancang dan membuat sistem untuk menangani, menyimpan, dan membuang sampah padat.

1. Material dimasukkan ke dalam ruang pembentukan bola sampah sampai dicapai tekanan penuh.

2. Untuk mempertahankan bentuk bola yang ada, jaring atau plastik film dimasukkan ke dalam ruang pembentukan bola.

3. Ruang pembentukan bola terbuka dan bola sampah yang ada dipindahkan ke unit pembungkusan.

4. Sementara bola sampah dibungkus, lengan pembentuk bola
kembali ke posisi awal, siap untuk menjalankan proses baru.

5. Bola-bola yang dibungkus kini dimasukkan ke konveyor. Seluruh proses berakhir dalam 2-3 menit dan sepenuhnya dijalankan komputer.


Fitrio, Deffan Purnama

Reusable Sanitary Landfill, alternatif pengolahan sampah Jakarta

Kamis, 25 November 2004 | 14:51 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Badan Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT) menciptakan sistem baru untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namanya Reusable Sanitary Landfill. Sebenarnya, sistem ini merupakan penyempurna sistem yang pernah diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang. Kalau RSL diterapkan di Jakarta, dipastikan Jakarta tidak perlu mengotak-atik tata ruang kota atau mengambil lahan daerah lain.

Arsitek dan Insinyur Tekhnologi BPPT, Dipl. –Ing. Ir H. B. Henky Sutanto menjelaskan Reusable Sanitary Landfill (RSL) adalah sebuah sistem pengolahan sampah yang berkesinambungan dengan menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah Padat. RSL diyakini Henky bisa mengontrol emisi liquid, atau air rembesan sampai sehingga tidak mencemari air tanah.

Sistem ini mampu mengontrol emisi gas metan, karbondioksida atau gas berbahaya lainnya akibat proses pemadatan sampah. RSL juga bisa mengontrol populasi lalat di sekitar TPA. Sehingga mencegah penebaran bibit penyakit.

Cara kerjanya, di RSL, sampah ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat sampah tersebut sebelumnya digali dan tanah liatnya dipadatkan. Lahan ini desbut ground liner. Usai tanah liat dipadatkan, tanah kemudian dilapisi dengan geo membran, lapisan mirip plastik berwarna yang dengan ketebalan 2,5 milimeter yang terbuat dari High Density Polyitilin, salah satu senyawa minyak bumi. Lapisan ini lah yang nantinya akan menahan air lindi (air kotor yang berbau yang berasal dari sampah), sehingga tidak akan meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Di atas lapisan geo membran dilapisi lagi geo textile yang gunanya memfilter kotoran sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala air lindi ini dikeringkan.

Sebelum dipadatkan, sampah yang menumpuk diatas lapisan geo textille ini kemudian ditutup dengan menggunakan lapisan geo membran untuk mencegah menyebarnya gas metan akibat proses pembusukan sampah (yang dipadatkan) tanpa oksigen.

Geo membran ini juga akan menyerap panas dan membantu proses pembusukan. Radiasinya akan dipastikan dapat membunuh lalat dan telur-telurnya di sekitar sampah. Sementara hasil pembusukan samapah dalam bentuk kompos bisa dijual.

Gas metan ini juga yang pada akhirnya digunakan untuk memanaskan air hujan yang sebelumnya ditampung untuk mencuci truk-truk pengangkut sampah. Henky yakin jika truk sampah yang bentuknya tertutup dicuci setiap kali habis mengangkut sampah, tidak akan menebarkan bau ke lokasi TPA.


Pengolahan sampah dengan sistem ini sebenarnya sama saja dengan yang sudah dilaksanakan TPA Bantar Gebang. Hanya saja, pada Zona I TPA Bantar Gerbang, groun lner tidak menggunakan geo membran untuk menahan air lindi. Dan terjadi kebocoran yang menyebabkan pencemaran air serta pencemaran udara.

Jika, TPA Bantar Gebang direhabilitasi kemudian pola pengolahannya digantikan dengan RSL, pemerintah daerah Jakarta, emnurut Henky tidak perlu mencari lokasi baru untuk menampung sampah. Karena sampah dapat diolah secara berkesinambungan dan sistem di ground liner bisa diperbaiki secara berkala.

Fitri Oktarini

Kompos, Salah Satu Jalan Keluar Problem Sampah

Kamis, 25 November 2004 | 14:57 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sampah rumah tangga, menyumbang tidak sedikit dari sekitar 6000 ton total produksi sampah per hari di ibukota Jakarta. Jika setiap rumah mampu mengelola sampahnya dengan baik, akan sangat membantu mengatasi problem sampah di Jakarta. Caranya?

Peneliti dan ahli lingkungan Badan Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT) Henky Sutanto mengatakan sebenarnya sampah rumah tangga bisa diubah menjadi kompos yang berguna untuk tumbuh-tumbuhan di pekarangan rumah sendiri.

Sampah basah (organik) bekas makanan-atau minuman sehari-hari dipisahkan dari sampah kering (anorganik) seperti kaleng, plastik, kertas. Sampah basah itu kemudian ditumpuk dalam sebuah lubang kecil di pekarangan rumah. Dalam jangka waktu tertentu bagian paling bawah dalam tumpukan tersebut bisa diangkat kemudian ditebarkan ke tanaman sebagai pupuk kompos.

Pengolahan sampah menjadi kompos, yang bisa dimanfaatkan memperbaiki struktur tanah, untuk meningkatkan permeabilitas tanah, dan dapat mengurangi ketergantungan pada pemakaian pupuk mineral (anorganik) seperti urea. Selain mahal, urea juga dikhawatirkan menambah tingkat polusi tanah. Ada juga cara lain untuk mengurangi volume sampah. Dengan cara dibakar. Tetapi pembakaran sampah menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), atau PCB (poly chlorinated biphenyl).

Jika senyawa yang berstruktur sangat stabil itu hanya dapat larut dalam lemak dan tidak dapat terurai ini bocor ke udara dan sampai kemudian dihirup oleh manusia maupun hewan melalui udara. Dioksin akan mengendap dalam tubuh, yang pada kadar tertentu dapat mengakibatkan kanker.

Lalu, bagaimana dengan rumah dengan pekarangan yang sempit ? Misalnya di kompleks perumahan. Menurut Henky hal yang serupa bisa juga dilakukan dalam lingkungan kompleks. Sampah dari masing-masing rumah dikumpulkan dalam satu lokasi di dalam kompleks, yang dikhususkan menjadi Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Sampah kering dan sampah basah dipisahkan. Sampah basah kemudian ditumpuk. Dalam jangka waktu dua bulan, akan menjadi kompos. Kompos itu, bisa dibagikan ke setiap rumah yang membutuhkan pengganti pupuk untuk tanaman. Dengan begitu, persoalan samapah di lingkungan sekitar bisa teratasi secara kolektif.

Fitri Oktarini

Bali Bangun Proyek Pengolah Sampah Jadi Listrik

Selasa, 15 Pebruari 2005 | 15:27 WIB

TEMPO Interaktif, Denpasar:Proyek pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi listrik mulai dibangun di Tempat Penampungan Akhir (TPA) Suwung Denpasar, Selasa (15/2). Pembangunan ini merupakan kerjasama empat daerah tingkat II di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) dengan investor PT Navigate Organic Energi Indonesia (PT NOEI) dari Inggris.

Ketua Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita, Made Sudarma, mengatakan proyek ini akan menggabungkan tiga cara dalam mengelola sampah. Sampah lama dikelola dengan teknologi landfill, yakni, dengan mengumpulkan seluruh sampah lama dan menutup permukaannya dengan tanah. Lalu, lewat pipa yang dipasang di dalamnya, gas methan ditangkap dan digunakan untuk mengeringkan sampah.

Dalam beberapa tahun, kata Sudarma, sampah akan terdegradasi dan volume tumpukan akan mengempis. Cairan yang keluar dari sampah selama proses itu konon dijamin tak akan menjadi limbah karena ditampung dan dikelola dalam instalasi khusus water treatment.

Untuk sampah baru, prosesnya akan dipilah dulu. Sampah basah (macam kayu, daun, kertas) dicacah lalu dimasukkan dalam digester (pengering) yang nantinya menghasilkan biogas dan kompos. Teknologi ini dinamakan Anaerobic Digestion. Sedangkan sampah baru kering (seperti plastik) akan diolah dengan teknologi pirolisis dan gasification, yakni dengan pemanasan tinggi tanpa oksigen yang menghasilkan gas dan digunakan untuk menggerakkan turbin.

Teknologi itu , menurut Sudarma, tidak berisiko tinggi terhadap kesehatan masyarakat. "Teknologi ini bukan Incinerator (pembakaran sampah). Jadi tidak perlu cemas," katanya.

Dengan mengolah 500 ton sampah per hari, instalasi ini sanggup mengalirkan listrik 5-8 Megawatt. PT NOEI berjanji membagi keuntungan penjualan listrik hasil olahan sampah pada PLN Bali dengan nilai US$1.000 per Megawatt. (Rofiqi Hasan)

Konflik Sampah, Lemahnya Manajemen Persampahan

Kamis, 25 November 2004 | 20:59 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Konflik sampah perkotaan yang berujung pada kerusuhan massa terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor, pada Senin (22/11). Sekitar 2000 massa dari tujuh desa mengamuk, merusak serta membakar semua bangunan di areal TPST.

Aparat kepolisian datang dan menembaki warga, tujuh orang jadi korban timah panas. Sebanyak 19 orang warga dijadikan tersangka yang memprovokasi kerusuhan. Pengelola TPST Bojong, PT. Wira Guna Sejahtera, amat terpukul dan menderita kerugian materi sekitar Rp. 30 miliar.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Kapolri Jenderal Da?i Bachtiar menyelidiki kasus ini. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, langsung mendatangi Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan. Dari Bandung, Sutiyoso meminta Pemerintah Kabupaten Bogor memberikan jaminan kepada PT WGS agar bisa mengoperasikan TPST Bojong.

Namun, warga Bojong yang sudah kadung kecewa bertekad untuk tetap menolak keberadaan TPST. DPRD Kabupaten Bogor, yang sebelumnya memberi peluang beroperasinya TPST, kini meminta Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mengevaluasi pengoperasian TPST. Bahkan sebagian besar wakil rakyat meminta TPST ditutup.

Konflik persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua. Kasus pertama terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember 2001. Selain rusuh, warga bersama Pemerintah dan DPRD Kota Bekasi melakukan penutupan TPA Bantargebang.

Dampaknya, selama sepekan sebelum dan sesudah Idul Fitri 1412 Hijriyah, sampah tak terangkut di ibu kota negara itu. Sampah yang seharinya terhimpun 25.600 meter kubik atau setara dengan 6000 ton, menggunung ratusan ribu meter kubik. Jakarta pun bagai tertimbun sampah dengan aroma tak sedap. Penutupan TPA Bantargebang pun kembali terjadi pada awal Januari 2004.

Belajar dari kasus penutupan dan kerusuhan TPA Bantargebang, sebenarnya kerusuhan TPST Bojong sudah diperkirakan sebelumnya. Alasannya, dari berbagai anatomi yang melatarbelakanginya, memiliki kemiripan dan bahkan kesamaan.

Dalam buku yang saya susun, Konflik Sampah Kota: Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang (Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur (balapres), dibakar (incenerator), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis geo tekstil).

Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST.

Pengangkutan sampah yang pada awal perjanjian tidak menimbulkan pencemaran, dilakukan secara sembarangan. Sampah yang dikirim masih basah dan mengandung banyak air lindi (leachete). Kondisi ini diperparah oleh banyaknya kendaraan pengangkut sampah yang bocor, terpal robek, dan simpul jaring tak utuh. Dampaknya, air lindi dengan aroma tak sedap berceceran sepanjang jalan-jalan utama, jalan tol, dan jalan kampung. Aroma tak sedap inilah yang dihirup warga metropolitan yang pengguna jalan. Warga mengeluh dan kerap menyumpahserapahi truk-truk sampah yang melintas.

Pada masa Orde Baru yang represif, tidak memberi tempat bagi keluhan warga, sehingga pelanggaran yang dilakukan sopir truk sampah dan petugas dinas kebersihan, menjadi hal biasa tanpa sangsi. Tragisnya, perilaku buruk tersebut tidak berubah di era reformasi tatkala posisi masyarakat lebih kuat dari pada pemerintah. Keluhan pun mendapat tempat di berbagai media massa dan unjuk rasa. Protes menjadi bentrokan dan kerusuhan pun terjadi, tatkala pemerintah daerah bertindak arogan dan masyarakat yang menghendaki lenyapnya pencemaran lingkungan.

Masyarakat mendapat tempat di hadapan wakil rakyatnya di DPRD. Sementara itu Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, selalu menerima laporan asal bapak senang (ABS), sehingga ketika ditanya berbagai pihak soal maslaah sampah, jawabannya selalu standar: sudah dikelola dengan baik. Sebagian anggota DPRD DKI jakarta cenderung elitis.

Selama bertahun-tahun menduduki kursi empuk, boleh dikatakan mereka nyaris tidak pernah melakukan inspeksi ke lapangan yang beraoma busuk itu. Mereka lebih asik menghitung angka-angka dan pemecahan masalah di atas meja dan kertas. Kalaupun melakukan kunjungan, mereka lebih senang ?jalan-jalan? ke luar negeri untuk meninjau teknologi persampahan mutakhir atau mendengarkan ekspose calon investor, yang barang kali belum tepat untuk jangka pendek.

Aparat peemrintahan di sekitar lokasi pembuangan sampah, entah kenapa, juga menyatakan kondisi wilayahnya aman untuk pembuangan sampah. Padahal di lapangan sampah berikut aroma busuknya adalah sesuatu yang ril dan tidak dapat dimanipulasi.

Ada gula ada semut. Kehadiran TPA dan TPST, cepat maupun lambat akan menyedot kehadiran pemulung. Memang, kehadiran pemulung di TPST Bojong belum dirasakan warga sekitar. Namun di TPA Bantargebang, sejak dibangunnya tahun 1980-an, jumlahnya sudah mencapai sekitar 5000 orang.

Pada mulanya para pemulung mengais rezeki di dalam TPA, tapi pada perkembangannya mereka menjadi tidak peduli dengan dampak lingkungan. Mereka memaksa atau kongkalikong dengan sopir truk agar menurunkan sampah sebelum dimasukkan ke dalam sanitary landfill. Sampah-sampah yang bernilai ekonomis mereka ambil, sedangkan sisanya mereka biarkan berceceran atau dibuang di empang dan sawah. Dampaknya, air lindi yang kerap mengandung bahan berbahaya dan beracuin (B3) tidak tertampung di dalam bak sanitary landfill dan tidak diolah di dalam instalasi pengolah air sampah (Ipas), melainkan langsung menyerap ke dalam tanah pemukiman warga.

Para bos dan pemulung yang lebih cenderung mementingkan keuntungan ekonomi semata itu ingin segera sampah dikeluarkan dari badan truk. Kebetulan kontrol oknum petugass Dinas Kebersihan DKI Jakarta amat lemah, bahkan beberapa di antaranya menjadi oknum untuk mencari keuntungan di luar gaji atau honor resmi.

Kesempatan dalam kesempitan itu dijadikan peluang. Maka oknum-oknum nakal itu pun kongkalikong untuk bertransaksi menjelang pintu gerbang TPA. Maka, hanay demi uang tambahan dan keuntungan sesaat, sampah dibuang di luar TPA.

Ironisnya, para pelangar sistem tersebut tidak diberi sangsi. Kalau pun ada sopir truk sampah yang tertangkap tangan, hanya dikembalikan kepada atasannya. Setelah itu publik tidak mengetahui apakah diberi sanksi ataudibebaskan. Akibatnya, lingkungan sekeliling TPA yang seharusnya asri dengan pepohonan rindang dan sejuk, menjadi kumuh dan menjadi sumber pencemaran lingkungan paling dominan.

Ventilasi gas keluar dari sampah yang terbuat dari paralon ikut dibabat, dipulung, dan dijual oleh pemulung. Tembok TPA banyak dijebol, sehingga siapa pun bisa masuk dan keluar TPA dengan bebas. Sedangkan sabuk hijau (green belt) berupa tanaman pelindung dan penyaring polusi udara tidak kunjung terwujud.

Agar kemarahan publik yang berbuntut pada aksi penutupan dan kerusuhan seperti di TPST Bojong dan TPA Bantargebang, Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah di sekelilingnya, harus segera membenahi kelemahan manajemen persampahannya. Bahkan, karena telah menjadi persoalan besar, persoalan sampah tidak bisa hanya ditangani secara teknis, tetapi juga secara sosial, budaya, dan moral.

Keliru besar kalau kita menganggap sampah sekadar persoalan kecil, teknis, sekadar soal kebersihan kota belaka. Langkah itu tentu saja tidak akan terwujud tanpa didukung semua komponen stakeholder. Perbaikan manajemen persampahan harus dimulai dari tingkat yang paling dasar, yakni kesadaran kultur pejabat dana masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianut setiap keluarga.

Ali Anwar?Tempo

Bandung Raya Bentuk Korporat untuk Kelola Sampah

Rabu, 16 Pebruari 2005 | 20:00 WIB

TEMPO Interaktif, Bandung:Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengumpulkan para pemimpin pemerintah daerah di wilayah Bandung Raya untuk membahas pengelolaan sampah secara terpadu.

Sebuah korporat gabungan dari lima pemerintah daerah di wilayah Bandung Raya, yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Administratif Cimahi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang rencananya akan dibentuk untuk mengelola sampah secara terpadu.

"Harus ada komitmen bersama untuk menyelesaikan masalah sampah secara integral di bawah fasilitator Gubernur," kata Wakil Gubernur Jawa Barat Nu'man Abdul Hakim kemarin di Bandung, Jawa Barat.

Menurut Nu'man, selama ini sampah dikumpulkan, ditampung, lalu dibuang di satu tempat, seperti tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah di Kabupaten Bandung, TPA Cijeruk di Sumedang, serta TPA Pasir Impun, Kota Bandung. Selain menghabiskan lahan, cara itu juga mencemari lingkungan.

Nu'man mengambarkan, seluruh sampah dari lima wilayah di Bandung Raya, jika dikumpulkan mencapai jumlah 4,5 juta ton kubik per hari. Cara ini jua akan menghabiskan 100 hektare tanah dalam waktu 25 tahun.

Nu'man berharap, pengelolaan sampah ke depan bisa terpadu dengan menggunakan teknologi yang bagus, tidak mencemari lingkungan, dan tidak menghabiskan lahan. "Tahapan akhirnya menuju incenarator dengan tekonologi tinggi," katanya.

Ahmad Fikri

Penanganan Sampah dan Keseriusan Pemerintah

Kamis, 22 Desember 2005

SAMPAH telah menjadi isu sentral seluruh pemerintah daerah. Penanganan sampah membutuhkan lebih dari sekadar pengangkutan, pembuangan, dan penimbunan. Munculnya persoalan TPST Bojong Kab. Bogor, longsornya TPA Leuwigajah di Kota Cimahi, jenuhnya TPA Bantar Gebang Kab. Bekasi mengundang pertanyaan. Pengelolaan sampah seperti apa yang layak diterapkan?


GUNUNGAN sampah terlihat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Babakan Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, Rabu (14/12). Saat ini TPA Babakan hanya menampung puluhan truk sampah dari wilayah Kabupaten Bandung setiap harinya.*DENI YUDIAWAN/”PR”

Ditilik secara harfiah, sampah adalah sesuatu yang tidak berguna lagi atau dibuang oleh pemilik atau pemakainya semula. Sumbernya bisa berasal dari berbagai macam aktivitas manusia, mulai dari aktivitas pemukiman, pertanian, pembangunan gedung, perdagangan, perkantoran, dan industri.

Sampai saat ini, penanganan sampah di negara kita sebagian besar menggunakan sistem sanitary landfill. Sampah dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir), kemudian dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya di tutup tanah.

Pada bagian dasar dilengkapi sistem saluran leachate (licit-Red) yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah yang harus diolah terlebih dulu, sebelum dibuang ke sungai atau ke lingkungan. Pada sistem ini juga dipasang pipa gas untuk mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah.

Sistem ini sudah banyak ditinggalkan negara-negara maju, karena memiliki sejumlah kelemahan antara lain memerlukan lahan yang luas serta kebocoran ke dalam sumber air yang tidak dapat ditoleransi. Dampak utama sanitary landfill adalah kerusakan lingkungan.

Seattle, salah satu kota di Amerika Serikat pernah mengalami krisis sampah pada tahun 1987 setelah dua tempat pembuangan sampahnya ditutup. Pemulihan lingkungan akibat adanya pembuangan sampah tersebut, memerlukan biaya lebih dari 90 juta dollar AS! Besarnya biaya yang harus ditanggung menjadi titik balik pemerintah Seattle untuk lebih serius menangani persoalan sampah.

Keseriusan adalah salah satu poin penting yang membedakan berhasil atau tidaknya pengelolaan sampah. Poin inilah yang menurut Dadang Sudarga dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar tidak dimiliki Pemkot Bandung. Hal itu antara lain terlihat dari tidak adanya upaya penyadaran kepada masyarakat yang terintegrasi dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

”Saya melihat sepertinya tindakan pemkot yang berkaitan dengan persoalan sampah tidak ada kesungguhan. Padahal, ini persoalan serius. Seperti soal pencarian lahan TPA baru. Kami yang tergabung dalam tim teknis sudah mensurvei sejumlah lokasi, tapi tidak pernah ada tindak lanjut,” ujarnya.

Dadang juga menekankan perlunya payung hukum yang jelas soal penanganan sampah berupa peraturan daerah (perda) yang dijalankan dengan konsisten. Ketidakseriusan pemerintah menurutnya juga dengan tidak adanya sharing bersama masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dan menjadikan penanganan sampah sebagai persoalan bersama.

Di Seattle, perubahan besar terjadi ketika dinas pekerjaan umum setempat memunculkan program daur ulang. Rencana pun berjalan sehingga reducing, reusing, dan recycling menjadi bagian penting dalam sistem manajemen sampah di sana.

Program daur ulang sampah di Seattle menjadi kisah sukses ternama di seluruh dunia dan menjadi bahan observasi sejumlah badan pengelola sampah. Tingkat daur ulang meningkat dari 28% sampah tahun 1988 menjadi 44% pada 1999. Setiap keluarga mendaur ulang 60% sampahnya pada tahun tersebut.

Kesadaran masyarakat bahwa sampah merupakan persoalan bersama harus dimunculkan seiring pembangunan infrastuktur yang sesuai. Ambil contoh soal pemilahan sampah. Pembangunan kesadaran soal ini harus dibarengi penyediaan tempat sampah dan sistem pengangkutan yang berbeda.

Saga, sebuah wilayah di Jepang, memiliki sistem persampahan yang sangat rumit dengan enam kategori pemisahan sampah. Sampah yang bisa dibakar menjadi kompos seperti tanaman, sepatu bekas, kertas, barang pecah belah yang tidak mudah terbakar seperti keramik, wadah plastik, sampah medis berbahaya, sumber yang bisa diperbaharui seperi kaleng aluminium , botol kaca, surat kabar, karton, majalah, buku, selimut dsb. serta perabotan rumah tangga berukuran besar.

Sampah tersebut nantinya dijemput dengan truk berbeda pada waktu-waktu yang berlainan. Sebuah kota lainnya di Jepang bahkan mengeluarkan daftar barang-barang yang bisa didaur ulang dan tidak akan diangkut dalam pengangkutan sampah. Pengangkutan sampah pun dikenakan biaya yang cukup besar dan diperlukan pendaftaran sebelumnya.

Berbagai contoh penanganan sampah bukan tidak mungkin dapat diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung. Yang diperlukan adalah keseriusan dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan serta mendorong partisipasi aktif masyarakat.

Wali Kota Bandung Dada Rosada mengatakan, pemerintah kota masih sanggup menangani persoalan sampah yang menurutnya, tidak perlu diserahkan kepada pemerintah pusat.

Ia menjamin bahwa secara bertahap penanganan sampah akan terus diperbaiki dari sanitary landfill menuju pengolahan menjadi energi listrik. Masyarakat tentunya dapat menunggu realisasi pelaksanaan janji pemerintah tersebut.

Sementara itu, PD Kebersihan Kota Bandung belum akan dapat memperbaiki diri dan manajemennya karena terus berkutat dengan masalah intern terutama yang berkaitan dengan kebutuhan anggaran.

Pengelolaan sampah kita jauh panggang dari api dengan Seattle. Tapi kita berharap pemerintah dapat mengalami titik balik lebih cepat sebelum harus membayar kerugian akibat dampak lingkungan jutaan dolar AS.

**

MUSIBAH longsor Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah pada 21 Februari 2005, menyisakan begitu banyak persoalan. Selain belum tuntasnya penyelesaian ganti rugi dan pembebasan lahan yang tekena longsor, penanganan sampah di kawasan Bandung Raya belum terselesaikan secara paripurna.

Tidak hanya di Kota Bandung, masalah sampah pun menjadi persoalan besar bagi Kota Cimahi. Apalagi, baik Kota Bandung atau pun Kota Cimahi, belum juga mendapat tempat baru yang bisa digunakan sebagai TPA alternatif. Tak mengherankan, jika banyak terjadi penumpukan sampah di sejumlah TPS (tempat pembuangan sementara).

Sementara itu, ancaman yang lebih besar lagi menghadang pemerintah dan masyarakat Kota Bandung dan Cimahi. Karena menjelang habisnya masa penggunaan TPA Jelekong di Kab. Bandung pada 31 Desember 2005 nanti, Kota Cimahi tidak bisa ikut lagi membuang sampahnya ke sana. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak Kota Bandung karena hanya 90 m3/hari, setidaknya hal itu bisa mengurangi tumpukan sampah di Cimahi.

Padahal, menurut Kepala UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Kebersihan Kota Cimahi, H. Entis Sutisna, volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Cimahi mencapai 1.150 m3/hari. Angka itu muncul dengan asumsi bahwa setiap penduduk menghasilkan sampah 2,5 liter/hari. Sementara, jumlah penduduk di Cimahi diperkirakan mencapai 460.000 jiwa.

Berdasarkan data di UPTD Kebersihan Kota Cimahi, sebelum longsor TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 lalu, volume sampah yang terangkut ke TPA hanya 65 rit atau 450 m3/hari. Akibatnya, sebagian besar lainnya terpaksa menginap di TPS.

Sementara, pascalongsor, Pemkot Cimahi hanya diizinkan membuang sampah sebanyak 13 rit atau 90 m3/hari ke TPA Jelekong. Tak mengherankan jika tumpukan sampah yang tak terangkut semakin banyak lagi. Akibatnya, protes dari masyarakat, khususnya di sekitar pasar, datang silih berganti kepada petugas UPTD Kebersihan Cimahi.

Meskipun pemerintah menggalakkan program komposting, hal itu tidak signifikan untuk mereduksi jumlah sampah yang ada. Apalagi, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah antara yang organik dengan bukan organik sejak dari rumah tangga masih kurang.

Lantas persoalannya, bagaimana nasib sampah Kota Cimahi setelah TPA Jelekong ditutup pada akhir Desember nanti? Sementara, usulan Kota Cimahi untuk menggunakan lokasi Kp. Cileungsing, Desa Citatah, Kec. Cipatat sebagai TPA alternatif, belum mendapat restu dari Pemkab Bandung. Bahkan, bukan tidak mungkin, prosesnya masih cukup panjang. Selain harus menempuh persyaratan administratif, mereka juga harus melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar. Tentu saja, hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi, masyarakat sudah cukup trauma dengan musibah TPA Leuwigajah yang memakan korban jiwa cukup banyak.

Namun demikian, Wali Kota Cimahi, Ir. H.M. Itoc Tochija, M.M., tetap mengharapkan political will dari Pemkab Bandung, dalam penanganan sampah di Bandung Raya. Salah satunya, dengan mempermudah perizinan penggunaan lahan TPA alternatif di Citatah, untuk dijadikan tempat pengolahan sampah dari Cimahi.

Apalagi, ia berkeyakinan bahwa masyarakat di sekitar Citatah sudah merespons baik usulan tersebut. Karena sampah dari Cimahi tidak sekadar dibuang ke sana, tapi diharapkan didaur ulang sehingga memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat di sekitarnya.

Kebutuhan tersebut, katanya, sangat mendesak sambil menunggu kegiatan yang lebih terintegrasi, dalam pengelolaan sampah yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jabar. Bahkan, diharapkan program itu bisa didukung oleh Pemerintah Pusat dalam hal pendanaan. Mengingat, masalah kebersihan dan sampah itu menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, harus ada kebersamaan dalam mengelola sampah, khususnya di kawasan Bandung Raya. Semua pihak, tentunya harus bercermin terhadap bencana longsor TPA Leuwigajah.

Sementara, sebelumnya ada kecenderungan bahwa masalah sampah ini hanya merupakan persoalan pemerintah daerah. Selama itu pula, Pemerintah Pusat hanya memberikan stimulan atau bantuan berupa peralatan, untuk digunakan dalam penanganan sampah. Dengan demikian, penanganannya sendiri didominasi oleh pemerintah daerah dengan berbagai keterbatasan, khususnya masalah pendanaan.

Namun, lagi-lagi muncul pertanyaan apakah perencanaan yang dibuat pemerintah ini akan berjalan mulus? Mengingat, baru-baru ini saja masyarakat di sekitar Citatah menolak rencana pembangunan TPA tersebut. Apalagi, usulan untuk lokasi tempat pembuangan sampah di Citatah, tidak hanya di satu titik. Selain yang diusulkan Kota Cimahi, Kota Bandung pun mengusulkan dua titik lainnya. Tentu saja, warga di sekitar Citatah khawatir, akan terjadi pencemaran di banyak tempat.

Kondisi semacam itu tentu saja menempatkan Pemkab Bandung dalam posisi yang serba sulit. Di satu pihak, Pemkab Bandung mempunyai tanggung jawab untuk ikut menangani masalah sampah di Bandung Raya, sebagaimana yang disampaikan Bupati Bandung, H. Obar Sobarna, S.Ip. Tapi di sisi lain, masyarakat menentang hal itu. Karena itulah, Pemkab Bandung sampai saat ini masih meneliti titik-titik yang diusulkan oleh Kota Bandung dan Kota Cimahi untuk dijadikan TPA alternatif.

Namun, belum juga usulan untuk penentuan TPA alternatif diputuskan, Pemkab Bandung kembali dihadapkan pada hal yang dilematis. Hal itu menyikapi permintaan Kota Bandung yang minta izin agar bisa membuang sampah ke TPA Babakan. Mengingat, masa penggunaan TPA Jelekong akan habis pada 31 Desember ini. Sementara, mereka belum mendapat TPA alternatif lain. Namun, keinginan itu ditentang keras masyarakat di sekitar TPA Babakan.

Lagi-lagi, Pemkab Bandung diposisikan pada keadaan yang serba sulit. Di satu sisi ingin membantu kota tetangga yang tengah kesulitan membuang sampah. Namun, di sisi lain, mereka diancam warganya sendiri. Jika Pemkab Bandung mengizinkan sampah dari Kota Bandung dibuang ke TPA Babakan, bukan tidak mungkin, warga akan menutup TPA itu. Jika hal itu terjadi, jangankan sampah dari Kota Bandung, sampah dari Kab. Bandung pun belum tentu bisa dibuang ke sana. Warning tersebut telah disampaikan kepada Dinas Kebersihan Kab. Bandung.

Kondisi tersebut diakui oleh jajaran Dinas Kebersihan Kab. Bandung. Penolakan warga itu terkait dengan belum memadainya infrastruktur TPA Babakan, baik itu dinding penahan lokasi TPA, drainase untuk pembuangan air lindi, pipa pembuang gas metan, atau pun jalan menuju ke TPA yang belum terbangun secara maksimal. Buktinya, tidak jarang truk-truk pengangkut sampah harus didorong oleh alat berat untuk mencapai landasan pembuangan sampah karena medannya yang terjal.

Permasalahan itu tentu saja harus dipertimbangkan matang-matang oleh Pemkab Bandung. Apalagi, masyarakat di sana sempat melakukan penghadangan ketika sampah dari Kota Bandung sempat dibuang ke TPA Babakan, sebagaimana yang terjadi menjelang Konfrensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu.

Sementara itu, berdasarkan riwayat yang ada pada Dinas Kebersihan Kab. Bandung, TPA Babakan itu sebelumnya hanya merupakan TPA alternatif. Namun, pasca musibah longsor TPA Leuwigajah, penggunaan TPA itu dimaksimalkan untuk tempat pembuangan sebagian sampah dari Kab. Bandung.

Karena dari 8.000 m3 sampah yang dihasilkan masyarakat Kab. Bandung—dengan asumsi bahwa 4,1 juta penduduk Kab. Bandung menghasilkan sampah 2 liter/hari/jiwa—sampah yang dibuang ke TPA Babakan hanya sekira 800 m3/hari. Jumlah itu pun, baru sekira 15,40 persen/hari dari 3.000 m3/hari cakupan sampah yang harus diangkut Dinas Kebersihan Kab. Bandung. Mengingat wilayah Kab. Bandung begitu luas. Dengan demikian, Dinas Kebersihan Kab. Bandung hanya terkonsentrasi untuk mengangkut sampah di 36 persen wilayah perkotaan. Sementara, sebagian kecilnya lagi, dibuang ke TPA Pasirbulu, Lembang.

Lantas, jika masyarakat TPA Babakan menolak rencana pembungan sampah dari Kota Bandung, kebijakan seperti apa yang akan diambil oleh Pemkab Bandung. Sementara itu, masa penggunaan TPA Jelekong tinggal beberapa hari lagi. Begitu pula dengan rencana pembangunan TPA alternatif di Desa Citatah, Kec. Cipatat yang diajukan oleh Kota Bandung dan Kota Cimahi.

Namun, kurang bijak rasanya jika penyelesaian semua permasalahan itu hanya dibebankan kepada Pemkab Bandung. Sementara itu, baik itu Kota Cimahi atau pun Kota Bandung, masih berkeinginan untuk mengusulkan tempat berbeda di Desa Citatah untuk dijadikan tempat pembuangan sementara.

Namun, kenapa tidak jika kedua daerah ini mempunyai keseriusan dan keinginan yang sama untuk mengelola sampah, lantas memilih satu lokasi yang dianggap pas. Hal itu tentunya, akan lebih memudahkan dalam melakukan pengkajian, penelitian, dan pendekatan kepada masyarakatnya. Tidak seperti sekarang, yang diusulkan tiga titik sehingga pembahasannya tak berujung. (uwie/eri mulyani/”PR”) ***

Solusi Tuntas Mengolah Sampah

Kamis, 22 Desember 2005
Oleh Dr. Ir. MUBIAR PURWASASMITA

Langkah segera yang harus dilakukan adalah mengubah perilaku penanganan sampah sehari-hari di rumah-rumah agar dapat memilah dengan saksama sampah organik bakal kompos dari sampah non-organik bakal bahan daur ulang



SAMPAH yang tetap menggunung dan terus bertambah di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) Taman Cibeunying Utara tepat di depan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Maranatha, Kamis (1/12).*ERWIN KUSTIMAN/”PR”

JENIS dan jumlah sampah kota di Indonesia sangat tipikal, didominasi oleh jenis sampah organik dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan dalam dua dekade ini komposisi tersebut masih akan berkisar pada persentase 60-75% sampah organik dengan timbunan sampah 0,50-0,67 kg/orang/hari dan kepadatan 200 kg/m3. Hal ini terjadi karena pola hidup dan kehidupan sehari-hari masyarakat kita masih akan tetap berbasis pada produk dan kegiatan pertanian. Justru kenyataan inilah yang seharusnya dijadikan antisipasi strategi pengolahan sampah secara tuntas di Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Kebanyakan pilihan teknik olah sampah yang diperbincangkan selama ini tanpa mempertimbangkan perbedaan sifat alam dan budaya masyarakat setempat asal teknik-teknik tersebut dikembangkan. Kenyataan menunjukkan, hampir semua teknik pengolahan sampah yang diterapkan tidak diapresiasi dengan baik oleh rakyat maupun pemerintahan karena dianggap tidak menjawab tantangan permasalahan yang muncul atau tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Namun sayang, upaya mencari kembali pemecahannya tidak pernah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak yang terkait, seolah-olah masalah itu hanya sekadar tugas PD atau Dinas Kebersihan. Kenyataan yang berlarut-larut inilah yang kemudian membangun budaya tidak peduli terhadap sampah, yang akhirnya rakyat dan pemerintahan kita tidak berdaya lagi menghadapi permasalahan sampahnya.

Ambil contoh pilihan teknis pengolahan sampah seperti sanitary landfill yang selalu saja akhirnya hanya menjadi sekadar open dumping di mana sampah hanya dikumpulkan - diangkut - dibuang tidak diapa-apakan lagi, kejadian seperti ini masih saja terus berulang seperti tidak pernah mau berubah. Teknik ini seringkali dianggap tidak sesuai dengan kenyataan khas alam kita yang bercurah hujan banyak dan bertanah asal rempah gunung berapi yang mudah luruh. Namun yang paling dirasakan tetapi tidak diungkapkan, tampaknya semua pihak merasa sangat sayang mengalokasikan luas lahan atau ongkos yang dianggap mahal hanya untuk mengolah sampah.

Demikianlah jadinya kalau pemecahan permasalahan sampah kota hanya dipandang sebagai masalah sektoral saja atau sekadar menekan mata anggarannya. Sasaran pencapaian layanan belum menjadi komitmen utama. Sangat kebetulan masalah-masalah lainnya pun ditangani secara sektoral juga sehingga pendekatan yang tidak sistematik, tidak menyeluruh, dan tidak tuntas untuk penanganan sampah tidak pernah dipermasalahkan.

Secara kronologis keilmuan, kesadaran tentang cara pandang terhadap lingkungan terjadi pada akhir dekade tahun 1960-an karena berkembangnya metode pendekatan sistem pada awal dekade tersebut. Para pakar sadar bahwa masalah lingkungan harus dihadapi sebagai permasalahan sistem bukan sebagai masalah di luar sistem, bukan dipelajari sebagai dampak terhadap lingkungannya, namun terhadap sistem secara keseluruhan. Istilah keterkaitan ekosistem yang akan menjelaskan duduk permasalahan sampah dalam keutuhan sistem merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum menetapkan teknik pengolahan yang akan diberdayakan dan dibudayakan.

Lebih lanjut pemahaman di atas didukung oleh munculnya kesadaran akan keterbatasan sumber daya dalam akibat terjadinya krisis minyak dunia pada pertengahan dekade tahun 1970-an. Penanganan yang berkaitan dengan sumber daya alam tidak dapat diukur sebatas pertambahan nilainya saja namun harus mampu membangun manfaat yang relevan dan berkesinambungan. Keterkaitan ekosistem dalam arti manfaat inilah kemudian yang harus dicari pada setiap rancangan pemecahan permasalahan lingkungan seperti masalah sampah, penggalian bahan tambang, penebangan pohon, dan hilangnya sumber daya air sehingga tidak usah heran bila ada pemecahan permasalahan secara tuntas justru terjadi pada solusi yang diambil di luar sektor garapan bukan pada sektor permasalahannya, seperti kalau sungai sakit yang harus disembuhkan adalah hutannya dulu bukan dikutak-katik sungainya.

Cara pandang di atas tentunya berlaku pula dalam sektor pertanian dan sektor persampahan. Cara pandang pertanian yang telah berubah untuk lebih memfungsikan tanah sebagai pabrik alamiah yang dapat memproduksi nutrisi sendiri bagi tanaman akan mendorong kita untuk mampu melengkapkan komponen-komponen pabrik alamiah ini dalam tanah. Struktur tanah sebagai bioreaktor harus dibangun agar kontak air dan udara di dalam tanah dapat terjadi dan mikroorganisme yang hidup di antaranya dapat menjadi para pekerja alamiah yang paling produktif. Ternyata komponen utama pabrik alamiah ini adalah kompos, yaitu biomassa yang telah diubah menjadi bentuk dan unsur yang sangat diperlukan untuk membentuk struktur tanah dan mengondisikan kerja mikroba di dalam tanah.

Dengan demikian, teknik pertanian yang sangat perlu dikuasai para petani dan harus didukung oleh pemerintahan adalah teknik pengomposan. Petani harus dapat mengembalikan kompos ke dalam tanah garapannya sesuai dengan banyaknya produk pertanian yang dipanen dan dijual dari lahan tersebut. Kegiatan tersebut haus dapat membangun kembali siklus biomassa yang paling alamiah dari unsur hara dalam tanah, menjadi tanaman dan produk tanaman, lalu menjadi sampah biomassa, dan menjadi unsur hara lagi di dalam tanah sehingga olah tanah yang diperlukan adalah menjaga agar fungsi tanah sebagai pabrik alam dapat berlangsung sebagaimana mestinya.

Sampah kota adalah konsentrasi biomassa yang terutama berasal dari produk pertanian juga. Bila bahan tersebut dapat terpisah dengan baik sebagai sampah hayati yang bersih dari bahan plastik, gelas, kaleng dan bahan anorganik lainnya, maka bahan ini sudah akan merupakan bahan utama pembuatan kompos yang sangat diperlukan lahan pertanian. Para petani atau para pengompos yang akan membantu petani akan serta-merta mengambil bahan ini untuk dikomposkan di lahan pertaniannya bila mereka benar-benar mengetahui dan menikmati keuntungan yang dapat diperoleh dari hadirnya kembali siklus biomassa alamiah di lahan pertaniannya, baik di sawah maupun di kebun. Pemerintahan kota tinggal mampu membiasakan penduduknya untuk dapat memisahkan sampah secara saksama menjadi sampah organik bakal kompos dan sampah non-organik bakal bahan daur ulang di rumahnya masing-masing.

Kemudian dikumpulkan di tempat-tempat pengumpulan sementara (TPS) yang berbeda pula, sehingga ada TPS khusus sampah organik untuk bahan kompos dan TPS khusus sampah non-organik bakal bahan daur ulang dengan perbandingan 4:1 sesuai dengan jumlah dan komposisi sampah di wilayah masing-masing. Di TPS khusus sampah bakal kompos dapat ditempatkan mesin perajang sampah sehingga akan lebih memudahkan pengangkutan sampah lebih lanjut ke lahan pertanian. Sehingga petani atau pengompos yang sudah gandrung biomassa untuk bahan komposnya akan serta-merta mengambil sampah organik dari TPS organik, terutama bagi daerah pertanian di seputar kota.

Lahan pertanian dan sawah di seputar Kota Bandung misalnya memiliki luasan yang sangat berarti dan layak dipertahankan keberadaannya karena memang sesuai dengan karakteristik alam serta budaya setempat, dan yang lebih penting lagi karena Kota Bandung untuk kepentingan ekosistem dan iklim mikronya akan memerlukan agar lahan ini tetap sebagai sawah atau lahan pertanian. Kalau saja satu hektare lahan pertanian atau sawah memerlukan tambahan biomassa sebanyak 10 ton untuk setiap musim tanamnya di luar biomassa yang dihasilkannya sendiri seperti sekam dan jerami, maka sampah kota yang dapat diserap adalah setara 200 kg sampah organik setiap harinya. Berarti timbunan sampah organik Kota Bandung 3.000 ton/hari cukup diserap oleh luas sawah 5.000 ha di seputar Bandung.

Olah sawah dengan paradigma baru pertanian seperti dijelaskan di atas akan menggunakan kompos yang memadai untuk membuat struktur tanah menjadi lebih gembur sehingga pasokan udara ke dalam tanah menjadi lebih baik, mendorong mekanisme siklus organisme dalam tanah lebih kaya, menjamin pasokan nutrisi dan pengendalian hama tanaman yang lebih baik, serta penggunaan air pun menjadi sangat hemat karena tidak berlebihan. Produksi padinya dapat mencapai 12-14 ton per hektare atau 2-3 kali lebih banyak dari biasanya, dengan biaya operasi yang jauh lebih ringan serta harga dan mutu padi yang dihasilkan lebih tinggi. Dengan demikian bertani secara organik dengan menggunakan kompos sebagai bahan utama olah lahan bukan lagi sekadar pilihan, namun merupakan keharusan yang kalau dilaksanakan bukan saja meningkatkan nilai dari produksi pertanian, namun sekaligus membuat kota mampu menangani masalah sampahnya.

Demikianlah bahasan di atas dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bahwa sebenarnya masalah pengolahan sampah kota dapat dirancang secara tuntas dengan sepenuhnya memperhatikan kriteria keterkaitan ekosistem dan keterkaitan manfaat, yang mampu menjamin kesinambungan unjuk kerja lahan pertanian dan kualitas kebersihan kota yang dapat diandalkan. Langkah segera yang harus dilakukan adalah mengubah perilaku penanganan sampah sehari-hari di rumah-rumah agar dapat memilah dengan saksama sampah organik bakal kompos dari sampah non-organik bakal bahan daur ulang, lalu dikumpulkan di tempat penampungan sementaranya masing-masing juga secara terpisah. Serta di pihak lain mengubah perilaku pertanian agar lebih memperhatikan keberlangsungsan siklus biomassa di lahan pertaniannya. Tugas pemimpin dan pemerintahan terutama bagaimana dapat memotivasi dan memfasilitasi agar hal tersebut bisa terwujud.***

Penulis, Dosen ITB, Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda.

Sampah Bandung Terancam tak Terangkut

Rabu, 23 Februari 2005

BANDUNG, (PR).-
Akibat ditutupnya tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, belasan ribu meter kubik sampah per hari di wilayah Bandung Raya (Kota Bandung, Kab. Bandung, dan Kota Cimahi) menumpuk di pinggir-pinggir jalan dan rumah-rumah penduduk.

SEORANG petugas kebersihan (depan) mengumpulkan sampah yang ditumpuknya di Jalan Jenderal Sudirman Bandung, Selasa (22/2).*ANDRI GURNITA/"PR"

Produksi sampah warga Kota Bandung baik sampah organik maupun nonorganik setiap harinya mencapai 7.500 meter kubik. Sementara sampah di wilayah Kabupaten Bandung setiap hari mencapai 8.000 m3. Sedangkan volume sampah Kota Cimahi rata-rata 400 m3/hari.

Di seputar Kota Bandung terlihat tumpukan sampah menggunung di sejumlah tempat-tempat pembuangan sementara (TPS) maupun stasiun transfer di Kota Bandung. Bahkan di pinggir-pinggir jalan seperti di Jln. Sudirman dekat Pasar Andir, sampah terlihat menggunung dan menimbulkan bau tidak sedap.

Di seputar Kota Cimahi, terlihat tumpukan sampah di sejumlah TPS di Kota Cimahi mulai menggunung. Akibatnya, penarikan sampah dari rumah-rumah penduduk ke TPS pun dihentikan. Hal itu pun sempat menimbulkan protes dari masyarakat.

Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung, Awan Gumelar mengatakan dalam beberapa hari ini terjadi tumpukan sampah di seputar Kota Bandung karena tidak terangkut ke TPA Leuwigajah. "Kami mohon maaf kepada warga Kota Bandung, jika dalam beberapa hari ini sampah-sampah tidak terangkut. Mohon ini dimaklumi, karena TPA di Leuwigajah longsor. Sekarang ini kami sedang mengupayakan TPA alternatif," ujarnya kepada "PR" usai kunjungan Menko Kesra Alwi Shihab di lokasi bencana TPA Leuwigajah, Cimahi, Selasa (22/2).

PD Kebersihan Kota Bandung akan mengalihkan pembuangan sampah ke TPA Jelekong Kab. Bandung. Selain itu, akan meneliti kemungkinan membuang ke TPA Cileungsi, juga di Kab. Bandung.

Namun untuk meminimalkan produksi sampah terutama sampah rumah tangga, masyarakat diminta untuk berpartisipasi mengurangi produksi sampah dari rumahnya masing-masing lewat "3M" (mengurai, memanfaatkan dan mendaur ulang) sampah.

Awan mengaku belum tahu pasti kapan pembuangan sampah di Kota Bandung akan kembali normal seperti biasa. Sebab, hal itu tergantung kondisi TPA alternatif apakah mampu menampung sampah dalam jumlah besar, kondisi cuaca apakah hujan atau tidak hingga kondisi lingkungan apakah rute yang dilalui truk sampah banjir atau tidak.

"Kami sendiri berharap persoalan ini segera tuntas. Namun demikian, mengingat sifatnya emergency (darurat), maka yang penting bisa terangkut," tandasnya.

Wali Kota Bandung Dada Rosada menyatakan mengatasi sampah di Kota Bandung pasca longsornya TPA Leuwigajah bukan pekerjaan mudah. Apalagi, saat ini nyaris tidak ada lagi lahan kosong di Kota Bandung untuk dijadikan TPA. "Guna mengatasi semakin bertumpuknya sampah, antara Pemkot Bandung, Pemkot Cimahi dan Kabupaten Bandung sepakat mencari tempat pengganti," kata Dada di sela-sela meninjau banjir di Kec. Rancasari, Bandung Selasa kemarin.

Secara terpisah, Ketua DPRD Kota Bandung Husni Muttaqien, menyarankan agar Pemkot berusaha mandiri dengan mencari lokasi TPA di wilayahnya sendiri, misalnya TPA Pasir Impun. Sebab, jika TPA berada di wilayah lain, tidak semua sampah bisa terangkut karena jaraknya jauh di samping kemungkinan adanya hambatan nonteknis lainnya.

"Kita kan memiliki TPA Pasir Impun. Kenapa tidak dimanfaatkan saja ?" ujarnya.

Menurut Husni, persoalan sampah maupun TPA-nya, sebenarnya sudah jauh-jauh hari menjadi topik bahasan. Sebab, sistem persampahan di Kota Bandung perlu ditangani lebih serius lagi. Misalnya, antara sampah organik dan nonorganik dipisahkan.

"Persoalnnya, untuk menyediakan tempat sampah berikut tulisan organik dan nonorganik, dibutuhkan biaya tidak sedikit. Meskipun demikian, masalah ini akan kita sampaikan ke eksekutif untuk menjadi bahan bahasan," tutur dia.

Kab. Bandung

Menyusul ditutupnya TPA Leuwigajah, sampah dari wilayah Kabupaten Bandung kini pembuangannya dikonsentrasikan ke Tempat Pembuagan Akhir (TPA) Babakan Ciparay. "Sebetulnya ada dua lokasi alternatif untuk pembuangan sampah dari Kabupaten Bandung setelah ditutupnya TPA Leuwigajah, yaitu TPA Babakan Ciparay dan Pasir Buluh di Lembang. Namun saat ini lebih dikonsentrasikan ke TPA Babakan Ciparay," kata Kepala Dinas Kebersihan Kabupaten Bandung, Ir. H. Sudirman, M.Si., didampingi Kasubag TU, H. Nana Suryana, S.H., M.Si.

Menurut Sudirman, pilihan pembuangan sampah ke TPA Babakan Ciparay karena letaknya lebih dekat. Sementara TPA Pasir Buluh di Kecamatan Lembang selain jaraknya cukup jauh, juga jalan menuju ke sana berkelok-kelok.

Disebutkan, TPA alternatif yang ada di Babakan Ciparay masih menggunakan sistem yang sangat sederhana. Setelah sampah diturunkan dari dam dibiarkan saja terbuka di lokasi tanpa penimbunan yang dikenal dengan sistem open dumping. Luas lahan di lokasi tersebut ada sekitar 8 ha. Ke depannya sistem pengelolaan sampah di TPA tersebut bisa ditingkatkan lagi dengan sistem controlled landfield - yang diratakan di lokasi dan dilakukan kontrol. Sedangkan untuk melangkah pada sistem sanitary landfield - yang diratakan dan ditimbun menggunakan lapisan tanah dan pasir - bagi Kabupaten Bandung masih belum mampu.

Adanya lokasi alternatif untuk pembuangan sampah di Babakan Ciparay, tidak ada masalah bagi Kabupaten Bandung untuk membuang sampah dari masyarakat. Namun, dirinya mengakui ketika TPA Leuwigajah baru dinyatakan ditutup pengangkutan sampah sempat tersendat, kecamatan-kecamatan pun telah diberitahukan lewat surat atas hambatan tersebut. Mulai Selasa kemarin pengangkutan sampah kembali lancar.

Sampah di seluruh wilayah Kabupaten Bandung setiap hari yang bisa terangkut rata-rata sekira 1.232 m3 atau baru sekira 17,40 %, sedangkan sampah di perkotaan yang terangkut sudah mencapai 40,68 %. Sementara jumlah tumpukan sampah keseluruhan mencapai 8.000 m3 lebih, dengan asumsi produksi sampah setiap hari sebanyak 2 liter setiap orang dikalikan jumlah penduduk 4.189 jiwa.

Kota Cimahi

Pemerintah Kota Cimahi sampai saat ini masih kesulitan mencari alternatif lain yang bisa dijadikan tempat pembuangan sampah.

Hal itu diakui Wali Kota Cimahi, Ir. H.M. Itoc Tochija, M.M. Saat ini Pemkot Cimahi masih mencari alternatif yang bisa digunakan, di antaranya daerah di sekitar Sumedang, Babakan Arjasari, dan Cileungsi Kec. Lembang. Mengingat, Pemkab. Bandung berkeberatan jika Kota Cimahi membuang sampahnya ke TPA Jelekong.

Menyikapi belum adanya tempat pembuangan baru, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi Ir. Arlina Gumira K. M.Si mengatakan, pihaknya telah meminta seluruh camat dan lurah di Kota Cimahi untuk segera menginformasikan kepada warganya agar untuk menyetop pembuangan sampah. Pihaknya pun mengharapkan pengertian dari seluruh masyarakat Cimahi agar memahami kondisi yang ada saat ini.

"Jika terpaksa, sebetulnya kita masih bisa membuang sampah ke TPA Leuwigajah Cimahi. Asalkan, hanya sampah yang dari Cimahi saja karena jumlahnya relatif kecil dibandingkan Kota Bandung atau Kab. Bandung," tuturnya.

Wakil Gubernur Jawa Barat Nu'man Abdul Hakim mengatakan sudah mendesak dilakukan perubahan paradigma pengolahan sampah di Jawa Barat. Bahkan, Nu'man mengistilahkan mekanisme pengolahan sampai yang dilakukan saat ini sudah tidak lagi beradab, sehingga tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) seperti itu harus segera ditutup, termasuk TPAS Leuwigajah.

"Bahkan, sebelum musibah menimpa sebagian masyarakat yang tinggal berdekatan dengan TPA Leuwigajah pun, saya sudah berulang mengatakan kita harus secepatnya mengubah manajemen pengelolaan sampah saat ini, yang terbukti sudah tidak lagi mampu menampung kuantitas sampah yang semakin besar. Bahkan, dari aspek teknis teknologi yang ada saat ini adalah teknologi warisan lama pada 1970-an," ungkap Nu'man Abdul Hakim kepada wartawan di Gedung Sate Bandung, Selasa (22/2).

Musibah longsoran gunungan sampah yang menimpa rumah-rumah penduduk terjadi tidak lama setelah sebelumnya Nu'man bersama pimpinan kepala daerah dari beberapa kota/kabupaten membahas pengolahan sampah terpadu (Kab./Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Sumedang, dan Kab. Garut). Hanya saja, saat itu sempat muncul keluhan Nu'man karena kurangnya komitmen dari beberapa pimpinan kota/kabupaten.

Ia mengatakan mekanisme pengolahan sampah dengan open dumping sudah jauh tertinggal karena tidak mungkin menampung limpahan sampai seiring bertambahnya penduduk. Itu cara-cara yang digunakan pada 1970-an. Ada juga yang menggunakan teknis biogas atau sanitary lanfield. "Tapi itu kita lewat dan kita mencoba menawarkan konsep pengolahan sampah terpadu yang mengoordinasikan pengolahan sampah di lima kota dan kabupaten yang berdekatan, yakni Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kab. Garut, dan Kab. Sumedang," tuturnya.

Konsep tersebut dinamakan Great Bandung Waste Management Corporation. "Selama 30 tahun pengelolaan sampah tidak secara komprehensif. Selama ini filosofi pengelolaan sampah yang dilakukan kita selama ini adalah dikumpulkan, ditampung, lalu dibuang di tempat akhir. Ini tidak manusiawi karena sampah itu pada akhirnya ada kandungan kimia yang berbahaya bagi lingkungan," ujarnya.

Nu'man mengungkapkan saat ini sampah di kawasan Bandung Raya telah mencapai 4,5 juta ton per hari. Jika dalam satu bulan sampah itu dikumpulkan, lanjutnya, akan menutupi Lapangan Gasibu Bandung setinggi enam meter atau setinggi Gedung Telkom di Jalan Japati. "Bisa dibayangkan ketika itu menimpa rumah-rumah penduduk dalam jarak lebih dari satu kilometer," tuturnya.

Ia menyatakan, sekarang Bandung Raya punya Leuwigajah dan Jelekong, dan beberapa TPA lainnya. Ke depan tidak mungkin karena lahan itu semakin sempit, sehingga sebetulnya harus ditutup. Jika pengelolaan sampah hanya dibuang saja seperti selama ini, lahan seluas 100 ha itu dalam 25 tahun akan habis dipenuhi sampah.

Karena itu, tambahnya, harus ada upaya-upaya penanganan teknologi sampah. "Dalam jangka pendek, kita bisa mengaplikasikan teknologi insenerator untuk membakar sampah sampai bubuk terkecil yang tidak berbahaya bagi manusia. Harganya memang relatif mahal yakni Rp 1 miliar untuk satu buah insenerator. Yang harus diperhatikan adalah juga harus ada pemisahan antara sampah domestik/rumah tangga dan rumah sakit yang harus berbeda manajemen dan cara pengelolaannya," ucap Nu'man Abdul Hakim.

Keteledoran

Sementara itu, menurut pakar lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, longsornya gunungan sampah di TPAS Leuwigajah lebih dikarenakan keteledoran pemberian izin maupun pengawasan pelaksanaannya. Bukankah, masyarakat setempat tinggal lebih awal ketimbang TPA tersebut, kenapa bisa ada izin dekat dengan lokasi pemukiman. "Selain itu, kenapa membangun TPA di tempat yang tinggi, padahal struktur tanah di sebagian besar Jabar memang bersifat labil," ungkap Mubiar.(A-64/A-73/A-100/A-106/A-115/A-136/A-146)***

Terlalu Besar Biaya Kerusakan Akibat Salah Kelola

Kamis, 10 Maret 2005

”Jangan mengadakan hajatan saat ini."
"Kenapa?"
"Bagaimana membuang sampahnya? Kan sekarang warga Bandung kesulitan membuang sampah."

ITULAH kondisi di Kota Bandung dan sekitarnya saat ini. Tumpukan sampah di sejumlah tempat mulai menggunung, menyusul longsornya tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) Leuwigajah dan kemudian dinyatakan tertutup sementara.

Repotnya, dalam hitungan kurang dari tujuh minggu, Kota Bandung akan menjadi tuan rumah hajatan besar bertaraf internasional, peringatan ulang tahun emas Konferensi Asia Afrika (KAA). Tepatnya 24 April mendatang.

Tak heran jika Wali Kota Bandung, Dada Rosada sampai meminta bantuan tim satuan tugas (satgas) ITB Peduli Leuwigajah dan Sampah Bandung Raya” yang dipimpin Dr. Imam S. mempresentasikan manajemen pengelolaan sampah dan penanganan TPAS Leuwigajah, Selasa siang (8/3).

Satgas yang berada di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB telah melakukan pengamatan dan pengujian di lokasi. Anggota tim terdiri dari berbagai jurusan yang ada. Cakrawala berkesempatan bertemu dengan salah seorang anggota tim yang juga Guru Besar Departemen Teknik Lingkungan ITB, Prof.Dr.Ir. Enri Damanhuri di ruang kerjanya, Selasa (8/3).

Menurut Prof. Enri, kondisi di TPAS Leuwigajah saat ini masih menyisakan timbunan sampah dengan lebar permukaan 80 m dan ketinggian mencapai 60 m. Timbunan tersebut berada pada sisi lereng yang curam. Sementara volume terbesar sampah sudah me-ngalami longsor yang menimbulkan korban jiwa cukup besar. “Diperlukan saluran drainase sesegera mungkin agar air tidak lagi menerjang timbunan sampah yang tersisa. Apalagi ada dua titik mata air yang berpindah-pindah di bawah tumpukan sampah,” tuturnya.

Sementara di bagian bawah telah dibangun tanggul sementara dengan membuat rangkaian bronjong dan tumpukan karung yang diisi sampah. Bagian bawah lokasi adalah daerah yang landai, sehingga kecepatan laju sampah akan berkurang dan juga akan direm oleh tanggul sementara tersebut. Lantas ada ide menutup sisi tumpukan sampah menggunakan plastik.

Tim juga melakukan identifikasi sumber-sumber air yang tercemar. Umumnya air permukaan tercemar air dari tumpukan sampah (leachet). Air permukaan yang dulu digunakan untuk irigasi tercemar berat. Saluran irigasi tersebut membentang di utara kawasan persawahan dari Kampung Pojok, Kec. Cimahi Selatan, Kota Cimahi hingga ke Kampung Gunung Aki dan Kampung Cilimus, Kec. Batujajar, Kab. Bandung. Bahkan usaha budi daya pertanian padi sawah sebelum bencana longsor terjadi tidak memberikan hasil yang memadai, karena bulir-bulir padi kebanyakan hampa (hapa).

Sebenarnya, TPAS Leuwigajah yang sudah berumur lebih dari 20 tahun menyimpan potensi kandungan pupuk organik pada tumpukan bagian bawah. Sampah yang sudah puluhan tahun tersebut dapat digunakan sebagai pupuk. Tim Satgas ITB mencatat potensi pupuk kompos atau organik sebesar 30% berdasarkan pengambilan contoh di 20 titik. Namun diperlukan alat pemilah dan pengumpul, serta ban berjalan untuk membawa pupuk sudah jadi tersebut, sekaligus mengurangi tumpukan longsoran.

Paradigma baru pemda

Prof. Enri menyatakan, diperlukan paradigma baru di lingkup pemerintah daerah (pemda) yang tidak sekadar anjuran atau ajakan kepada warga masyarakat untuk memilah-milah sampah. Pemda harus melakukan perubahan. Proses daur ulang (recycle) dan pengurangan (reduce) sampah haruslah difasilitasi. ”Jika masyarakat sudah memilah-milah sampahnya, sistem lainnya juga harus mengikuti. Jangan sampai sampah yang sudah dipilah, akhirnya dicampurkan lagi dalam gerobak sampah, hingga akhirnya bercampur di TPS dan TPA,” katanya.

Pengelolaan sampah kota harus melalui pendekatan menyeluruh. Sudah bukan lagi zamannya membuang sampah begitu saja hingga akhirnya dikolektifkan di TPA. Apalagi jika hanya membuat gunung sampah yang kelak menjadi sumber ancaman bencana longsor.

Sudah waktunya pengelolaan sampah dimulai dari tingkat rumah tangga, dan juga produsen, serta penjual. Masyarakat mulai memilah-milah sampah berdasarkan jenis sampah basah dan sampah kering yang dapat didaur ulang. Selain memilah-milah sampah, jumlah produksi sampah sedapat mungkin dikurangi dengan menggunakan barang atau material tahan lama (awet), menggunakan produk daur ulang atau produk yang dapat didaur ulang, mengurangi benda yang berpontensi menghasilkan sampah yang sulit diuraikan secara alami melalui pembusukan (pengomposan).

Pada tataran produsen barang, mengurangi penggunaan kemasan, mendorong penggunaan produk isi ulang (refill), memberi insentif potongan harga atau produk ramah lingkungan bagi pembeli yang mengembalikan wadah, botol kosong dari produk serupa, serta mengurangi atribut promosi yang tidak dapat didaur ulang.

Lantas bagi kalangan penjual, sedapat mungkin mengurangi penggunaan tas plastik (keresek) untuk membungkus barang yang dibeli konsumen, mendorong konsumen membawa keranjang belanjaan sendiri, menjual produk yang benar-benar ramah lingkungan.

Langkah berikutnya setelah mengurangi produksi sampah atau benda yang berpotensi menjadi sampah adalah melakukan pengolahan sampah basah atau biasa disebut sampah organik. Pengolahan sampah organik menjadi pupuk organik atau pupuk kompos atau juga menggunakan bantuan cacing untuk menguraikan sampah (vermi compost).

Ironisnya, ketika ada warga masyarakat yang tergerak melakukan pengolahan sampah menjadi kompos. Tapi tanpa pembinaan dan fasilitasi, akhirnya kompos tidak laku dan kegiatan itu berhenti. Semacam 32 unit pengomposan yang dirintis di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1991, kini tidak lagi berfungsi. Padahal dari sisi teknologi pengolahan sampah di tingkat rumah tangga atau lingkungan tidaklah terlalu rumit.

Secara sederhana, unit pengomposan bisa menggunakan wadah khusus yang dilengkapi lubang untuk sirkulasi udara, atau membuat lubang dalam tanah untuk memendam sampah basah agar kelak terjadi penguraian menjadi kompos. “Tapi apa insentif yang diberikan pemda terhadap upaya me-ngurangi beban di TPA? Apakah ada pengurangan biaya restribusi sampah, ataukah ada layanan lain yang diberikan kepada warga yang mengolah sampah?” ujar Enri mempertanyakan.

Jika sampah yang dapat didaur ulang sudah ditangani sejak tingkat rumah tangga, maka tidak akan ada lagi pemulung yang mencari sampah daur ulang di lokasi TPAS. ”Keberadaan pemulung di TPAS menunjukkan masih banyak potensi sampah yang bisa dipisahkan sejak awal,” ujar Enri.

Biaya kerusakan

Dalam hal pengelolaan di TPAS Leuwigajah, seharusnya dibuatkan penyengkedan (terasering) agar tumpukan sampah tidak terlalu terjal. Jika selama ini truk sampah hanya membuang sampah dari atas lereng agar turun ke lembah (open dumping), sudah seharusnya cara itu diubah.

Truk sampah turun ke bawah untuk membuang sampah lalu dipadatkan menggunakan alat berat. Ketinggian tumpukan sampah maksimal adalah 5 m. Lantas dibuat lagi tumpukan berikutnya juga dengan ketinggian maksimal 5 m. Setiap ada kenaikan 5 m, di ujung batas terasering dibuatkan saluran drainase agar air bisa mengalir di atas permukaan. Dengan cara demikian, sampah menjadi padat dan solid pada bagian bawah.

Itulah pelajaran berharga dari kesalahan penanganan TPA, khususnya TPAS Leuwigajah. Kerugian akibat bencana jauh lebih besar dibandingkan operasional TPAS secara baik dan benar. Belum lagi jika dihitung dengan korban jiwa yang sangat banyak akibat tertimbun sampah. Terlalu kecil ongkos pengelolaan sampah yang harus dikeluarkan pemda jika ingin TPA tidak menimbulkan bencana. Biaya sosial yang akhirnya harus dikeluarkan akibat kerusakan yang terjadi (damage cost) jauh lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan jika sampah dikelola dengan baik sejak awalnya.(dik/”PR”/berbagai sumber)***

Wednesday, December 14, 2005

Warga Tagih janji PT Indorama

Rabu, 11 Agustus 2004
PURWAKARTA, (PR).-
Masyarakat Desa Kembang Kuning Kec. Jatiluhur Kab. Purwakarta yang diwakili "Tim Kembang Kuning Peduli", menagih janji PT Indorama Synthetics Tbk., (PT IRS) yang akan mengantisipasi ancaman polusi udara dan ancaman pencemaran limbah cair di perusahaan tersebut.

"Dari enam tuntutan yang kami ajukan sebelumnya, baru empat yang sudah direalisasikan. Tapi dua lagi yang paling penting tentang antisipasi emisi gas buang serta limbah cair, sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya," ujar Roni Soemarno Ketua "Tim Kembang Kuning Peduli", Selasa (10/8).

Roni mengatakan hal tersebut disela acara bakti sosial pemberian bantuan dari PT Indorama Synthetic Tbk., kepada warga di Desa. Kembang Kuning dan Cibinong di Kantor KUD Desa, Kembang Kuning. Ia yang didampingi Ketua BPD Kembang Kuning Mian Gandasasmita mengatakan, selain menagih janji PT IRS, pihaknya juga mempertanyakan tentang rencana Bupati Purwakarta H. Lily Hambali Hasan yang akan memerintahkan Dinas Perhubungan untuk menyediakan alat pengujian emisi gas buang berikut sarana laboratoriumnya. Alat tersebut untuk menguji ketebalan asap kendaraan serta asap pabrik industri.

"Tapi rencana itu sampai sekarang tak ada realisasinya. Bahkan ketika ditanyakan, Dishub mengaku tak tahu sama sekali apalagi alat pengujian itu adanya di pemerintah provinsi. Kelihatannya terjadi salah komunikasi antara bupati dengan aparatnya. Janji pak bupati ini disampaikan pada 12 Maret lalu pada saat sosialisasi dengan warga tentang dampak polusi udara di sekitar pabrik industri di Kec. Jatiluhur," ujar Roni.

Menanggapi hal itu, H. Aliaman Saragih General Manager PT Indorama Synthetic Tbk, usai menghadiri acara bakti sosial, dua keinginan warga tentang upaya antisipasi dampak emisi gas buang serta pencemaran limbah cair itu akan dilakukan secepatnya dalam bulan Agustus ini. Namun, upaya itu harus dikoordinasikan dengan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Purwakarta, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat, termasuk melibatkan perusahaan-perusahaan lainnya.

"Jadi bukan hanya di perusahaan kami, tetapi harus melibatkan perusahaan lainnya. Kita akan mencoba berkoordinasi dengan instansi terkait, perusahaan lain serta LSM lingkungan yang independen. Hal itu untuk malakukan langkah-langkah perbaikan secara terbuka dan objektif sehingga semua masyarakat tahu dan terlibat langsung," ujar Aliaman.

Ia membantah pihaknya sengaja mengulur-ngulur waktu untuk merealisasikan tuntutan warga itu. Belum terlaksananya dua keinginan warga itu, karena untuk mengoordinasikan upaya tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. (A-67)***

Sekira 387 Anak di Desa Kembang Kuning Sakit Paru-paru Pemkab & Pabrik Didesak Melakukan Uji Emisi Gas

Rabu, 10 Agustus 2005
PURWAKARTA, (PR).-
Masyarakat Desa Kembang Kuning Kecamatan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta yang dinaungi oleh LSM Kembang Kuning Peduli mendesak kepada pemerintah setempat dan tujuh perusahaan industri di wilayah itu, untuk segera melakukan uji emisi gas buang kendaraan pabrik serta pengujian sampel limbah cair.

Pasalnya, polusi udara dari asap kendaraan yang lalu lalang ke lokasi pabrik sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Bahkan, sekira 387 anak di Desa Kembang Kuning kini positif terjangkit penyakit gangguan paru-paru dan diindikasikan akibat polusi udara dari asap kendaraan pabrik. Selain itu, sekira dua kuintal ikan kolam jaring apung di Danau Jatiluhur belum lama ini mati yang diduga kuat akibat pencemaran limbah cair dari PT Indorama Synthetic, Tbk.

Demikian dikatakan Ronny Soemarno, Ketua LSM Kembang Kuning Peduli di sela-sela diskusi "Pengelolaan Lingkungan Hidup di Purwakarta dan Deklarasi serta Penguatan Peran Environment Parliament Watch (EPW) di Wilayah IV Jawa Barat" di Rumah Makan Reina, Purwakarta, Selasa (9/8). Diskusi itu juga menghadirkan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, Wakil Bupati Purwakarta H. Dedi Mulyadi S.H., serta Ketua Komisi III DPRD Kab. Purwakarta, Dudung Abdulah dan Koordinator EPW Purwakarta, Andri Rahmat.

Ronny lebih jauh menjelaskan, penelitian tingkat emisi gas buang serta limbah cair itu perlu dilakukan sehubungan telah adanya kesepakatan antara warga dengan tujuh perusahaan disaksikan aparat pemerintah setempat. Kesepakatan itu dibuat pada bulan Maret 2004 lalu yang isinya mencakup tujuh poin yang harus dipenuhi. Dari tujuh kesepakatan itu, dua di antaranya tentang pengujian emisi gas buang dan limbah cair yang hingga kini belum direalisasikan juga. "Untuk yang lain-lainnya, seperti pengobatan, persediaan air bersih, rekrutmen tenaga kerja serta bantuan perbaikan lingkungan sudah dipenuhi," katanya.

Dikatakan, penelitian tingkat emisi gas buang serta limbah cair itu dinilai sangat vital karena terkait dengan dampak lingkungan secara langsung. Apalagi posisi Desa Kembang Kuning dikelilingi oleh tujuh perusahaan industri besar. Industri besar itu, di antaranya PT Indorama Synthetics Tbk., PT Elegant, PT Indo Panca dan PT Taroko. Semua industri itu dikoordinasi langsung oleh PT Indorama Synthetics sebagai perusahaan terbesar di Purwakarta, guna memfasilitasi berbagai kepentingan masyarakat.

Membantah

Dari 387 anak yang terkena fleks, lanjutnya, kebanyakan yang tinggal di pinggiran pabrik dan jalan. Terlebih Purwakarta sebagai daerah yang jumlah penderita infeksi saluran pernapasan Atas (ISPA) tertinggi di Jawa Barat.

"Belum lagi, masalah pencemaran air akibat limbah pabrik. Sekira dua kuintal ikan jaring apung milik H. Rosin Sawita, mati akibat limbah cair dari pabrik PT Indorama. Bila polusi udara dan pencemaran limbah cair ini dibiarkan, akan menjadi malapetaka bagi masyarakat Kembang Kuning. Penelitian ini tak bisa ditawar-tawar lagi dilakukan tujuh perusahaan dan pemda, untuk membuktikan separah apa polusi emisi gas buang dan pencemaran limbah cair ini," kata Ronny.

Menyinggung masalah itu, Nabiel Makarim, menegaskan penelitian emisi gas buang, pencemaran limbah cair serta debu batu bara harus dilakukan pemda setempat. Penelitian itu, bisa melibatkan kalangan akademisi perguruan tinggi yang kompeten di bidangnya. "Pemerintah daerah harus bertanggung jawab melakukan penelitian itu, jangan menggantungkan kepada pusat saja," ujarnya.

Ia mengatakan, pengawasan mengenai pencemaran limbah cair dan limbah bahan beracun Berbahaya (B3) dari debu batu bara harus dilakukan secara ketat. Sebab potensi pencemaran lingkungannya sangat tinggi. "Siapa saja yang melanggar ketentuan pengelolaan limbah itu, harus diberi sanksi tegas dan diajukan ke pengadilan," katanya.

Ketika dikonfirmasi, General Manager (GM) PT Indorama Synthetic, Tbk., H. Aliaman Saragih mengaku belum tahu mengenai masalah kesepakatan tujuh perusahaan yang dikoordinir PT Indorama, dalam melakukan penelitian emisi gas buang dan limbah cair. "Saya nggak tahu, ada kesepakatan itu. Untuk sementara, saya belum bisa berkomentar. Hanya saja, khusus di perusahaan kami sendiri, secara kontinu melakukan pengujian tersebut hingga kami mendapatkan kategori 'biru' (ramah lingkungan) dari Kementerian Lingkungan Hidup," katanya.

Dia juga membantah bahwa pabriknya membuang limbah cair ke Danau Jatiluhur hingga menyebabkan matinya dua kuintal ikan itu. "Tidak mungkin, sebab posisi pabrik kami berada di atas danau," ujar Aliaman.(A-67)***

Mayarakat Sekitar PT Indorama Tuntut Jaminan Kesehatan

Rabu, 18 Agustus 2004

PURWAKARTA -- Masyarakat yang tinggal di sekitar bangunan PT Indorama mengkhawatirkan pembuatan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk menyuplai listrik di perusahaan itu. Masyarakat yang tinggal di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Jatiluhur itu khawatir pembangunan pembangkit listrik itu akan menyebabkan dampak lingkungan yang membahayakan kesehatan.

Warga menyetujui pembuatan pembangkit listrik itu, selama ada jaminan bahwa di sana tidak akan terjadi pencemaran akibat pembangunan tersebut. Selain itu, mereka juga menuntut dana kesehatan bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan akibat limbah pabrik. PT Indorama yang dihubungi Jumat (13/8) menjamin pembangunan pembangkit listrik itu tak akan merusak lingkungan sekitar. Pasalnya, pembuatan mesin pembangkit listrik itu sudah dilengkapi dengan alat yang bisa menyaring asap hitam berbahaya yang dihasilkan dari batu bara.

Seorang petani di Desa Kembang Kuning, Ijah, yang rumahnya terletak tepat di belakang PT Indorama, mengatakan, saat ini, banyak warga di desanya yang mengalami flek akibat pencemaran udara yang dikeluarkan oleh asap pabrik. Salah satunya, anaknya yang berusia 3,5 tahun. ''Anak saya mengalami flu, panas, dan gangguan pernapasan dan dinyatakan positif terkena penyakit flek. Setiap bulan saya harus mengeluarkan uang sebesar Rp 100 ribu untuk membeli obat,'' ujar Ijah. Padahal, sambung dia, ia dan suaminya hanya petani yang berpenghasilan kecil. Ijah menambahkan, pada dasarnya semua masyarakat menyetujui pembangunan pembangkit listrik itu. Asalkan, sambung dia, ada jaminan dari pemilik perusahaan kalau pembangunan itu tidak akan membawa dampak bagi masyarakat.

Jika kelak, terjadi sesuatu akibat pembangunan itu, kata dia, warga menginginkan ada jaminan uang kesehatan bagi masyarakat. ''Kami semua trauma karena tiga tahun yang lalu, pernah terjadi sedikit kebocoran kimia dan menyebabkan satu RW atau 2.000 orang sakit dan dilarikan ke rumah sakit Bayu Asih. Meskipun memang perusahaan memberi dana pengobatan sebesar Rp 60 ribu,'' ujarnya. Menurut Pimpinan PT Indorama, R R Phene, pembangunan pembangkit listrik itu diperlukan agar terjadi efisiensi di masa mendatang sekaligus agar bisa bersaing dengan produk dari negara lain. Alasannya, jika membeli listrik dari PLN, harganya naik terus sehingga akan mempengaruhi ongkos produksi. Padahal, kata dia, pihaknya harus bersaing dengan negara lain. ''Kami mempunyai tiga divisi spinning, polister, dan syntetic dengan 7 ribu karyawan di masa perdagangan bebas nanti.

Kami harus bersaing produk dan harga,'' katanya menjelaskan. Lebih lanjut Phene mengungkapkan, PT Indorama akan membuat dua unit pembangkit listrik dengan dana Rp 500 miliar. Diharapkan, kata dia, pada lima tahun mendatang, akan terjadi efisiensi dalam penggunaan listrik. Saat ini, kata dia, biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli litrik ke PLN adalah Rp 10 miliar per tahun. ''Sebelum membangun pembangkit listrik itu, kami sudah mensurvei terlebih dahulu untuk mencari batu bara yang terbaik dan alat-alat yang canggih untuk mengolah agar asap yang keluar bersih,'' katanya. Pihaknya pun mengaku akan bertanggung jawab jika di kemudian hari, terjadi sesuatu yang merugikan warga sekitar.
(kie )

MiQro DEGRA: Pengurai Limbah Organik

Jumat, 21 Februari 2003

Septic-tank merupakan tempat penampungan bahan-bahan padat kotoran manusia (tinja). Tempat penampungan ini akan cepat penuh bila di dalamnya tidak terjadi proses penguraian oleh bakteri pengurai. Percepatan penumpukan tinja sendiri tergolong cepat dibanding bakteri pengurai yang berasal dari luar.

Apabila laju pertambahan bakteri pengurai ini sebanding dengan keberadaan limbah kotoran tadi maka dapat dipastikan keseimbangan akan terjadi dalam septic-tank. Dengan begitu, ongkos penyedotan septic-tank atau pengurasannya pada dasarnya tak mungkin keluar karena keberadaan bakteri pengurai itu sudah sangat membantu dalam proses penguraian limbah.

Kenyataannya, tidak semua septic-tank digarap serius untuk memudahkan proses penguraian limbah kotoran tersebut; yang oleh bakteri pengurai dijadikan air (H2O) dan gas (CO2). Akibatnya, biaya pun harus dikeluarkan hanya untuk melakukan penyedotan atau pengurasan septic-tank.

Lain lagi halnya bila ternyata septic-tank itu berdekatan dengan sumur. Apabila jarak minimum sumber air dengan septic-tank tidak terpenuhi (10 m), dapat dipastikan sumur memungkinkan menjadi sumber penyakit seperti disentri, kolera, dan tipus. Walhasil, sumber air ini kemudian menjadi tak layak pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Selain karena terasa hambar, air menjadi bau, berwarna dan mengandung bakteri patogen.

Bakteri patogen inilah yang menyebabkan racun. Meski bakteri ini turut membantu melakukan penguraian limbah, namun dapat disebut bakteri ini cenderung merugikan dibanding bakteri pengurai limbah. Kalau bakteri pengurai bersifat tidak beracun, bakteri ini tergolong aman dan menguntungkan. Bahkan bakteri ini pun tergolong membantu proses pembuatan kecap, alkohol, susu, dan yoghurt.

Lalu, apa hubungannya dengan MiQro DEGRA? MiQro DEGRA adalah mikroba (makhluk hidup kecil) pengurai limbah organik untuk perawatan WC atau septic-tank tanpa penyedotan. MiQro DEGRA sendiri mengandung sejumlah bakteri pengurai, di antaranya: Lactobacilus, Sacharomyces, Acetobakter, dan Bacilus. Keberadaan mikroba-mikroba inilah yang memungkinkan proses percepatan pemulihan septic-tank terjadi sehingga penumpukan limbah bisa diminimalisasi.

Kini, dalam bentuk produk, MiQro DEGRA mempunyai sejumlah manfaat. Seperti, mampu menguraikan limbah organik, mengatasi dan mencegah WC atau septic-tank penuh tanpa disedot. Menghilangkan bau. Turut menjaga kualitas air sumur yang jaraknya dekat dengan WC atau septic-tank. Membunuh kuman (disentri, kolera, tipus). Serta mengatasi penyumbatan saluran akibat penumpukan limbah.

Adapun kelebihan MiQro DEGRA ini ialah mampu hingga 80 persen mempercepat proses penguraian limbah sekaligus membunuh atau mengendalikan keberadaan bakteri-bakteri patogen yang menjadi sumber penyebab disentri, kolera dan tipus. Dengan begitu, MiQro DEGRA cocok digunakan untuk rumah sakit, hotel, restoran, peternakan, pabrik, dinas kebersihan, pengolahan limbah dan lain-lain.

MiQro DEGRA dibuat oleh PT RSDH dengan memberikan kepercayaan distribusinya pada PT MQ Consumer Goods. MiQro DEGRA sendiri merupakan hasil riset dari Laboratorium PPAU IH - ITB No 0409/A/102/2000, dengan izin produksi 001/KMHaKI-ITB/SPKLE/II/00.

Untuk informasi lebih lengkap mengenai produk dan keagenan dapat menghubungi nomor telepon/faks (022) 2010758. mns/mqp
( )

Mendiknas: Paradigma Pendidikan Indonesia Membangun Manusia Seutuhnya

Rabu, 14 Desember 2005 9:19:00

Pekanbaru-RoL-- Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo mengungkapkan, paradigma pendidikan Indonesia saat ini adalah ingin membangun manusia seutuhnya, bukan lagi paradigma pendidikan yang hendak mambangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih besar, ini dikarenakan SDM dalam istilah sehari-harinya adalah pekerja.

"Melalui pendidikan kita tidak hanya sekedar mencetak para pekerja, tapi kita ingin mencetak manusia yang seutuh-utuhnya dari pendidikan kita tidak hanya ingin menghasilkan pekerja, kita ingin menghasilkan politisi, para cendikiawan, budayawan, sastrawan, olahragawan, alim ulama dan sebagainya," ujarnya di Pekanbaru, Selasa malam dalam Rakor pembangunan dan evaluasi pendidikan Riau.

Jadi, tambahnya yang ingin dicetak adalah manusia unggul yang lebih komprehensif bukan hanya sekedar manusia pekerja saja, kalau paradigma paradigma pekerja atau paradigma SDM yang dibangun, dikhawatirkan nanti bangsa Indonesia tidak bisa mencari pemimpin.

"Mau mencari orang Indonsia yang bisa jadi bupati, mencari anggota DPR sangat sulit, mentalnya adalah mental pekerja yang menunggu perintah, tidak berani mengambil resiko, tidak berani mengambil kebijakan. Ini sangat beresiko kalau kita hanya mencetak para pekerja saja," ujarnya lagi.

Dikatakannya lagi, manusia di dalam dirinya melekat beberapa potensi, minimal potensi yang melekat pada hatinya, pada otaknya, pada rasanya dan raganya, maka pendidikan menyangkut pada empat macam olah. "Olah hati, olah pikir, olah rasa dan olahraga," ujarnya. Potensi olah hati dibangun manusia Indonesia yang berkeimanan dan berketakwaan yang baik, memiliki asas yang mulia dan berbudi pekerti luhur. "Ini adalah masalah pendidikan mutu, bagi mana kita membangun manusia yang berhati mulia," tuturnya.

Kemudian olah pikir, melalui olah pikir diharapkan bisa dibangun manusia yang intelektual secara akademis, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. "Nampaknya selamanya ini, dengan paradigma SDM yang dipahami, pendidikan adalah sekedar olah pikir, masih mengabaikan olah-olah lainnya," tuturnya.

Sedangkan melalui olah rasa kita ingin membangun manusia yang halus perasaannya, bisa apresiatif, bisa mensyukuri dan bisa mengekpresikan keindahan, sehingga pendidikan dengan keindahan (pendidikan seni) menjadi sama pentingnya dengan pendidikan hati dengan pendidikan pikir.

Sedangkan olahraga, sangat jelas sekali, manusia hidup dengan basis fisik, kalau fisik tidak sehat, tidak bugar, bagaimana bisa memiliki produktivitas yang tinggi karenanya olahragapun menjadi sangat penting di dalam pendidikan. "Jadi kita ingin mengembangkan manusia yang komprehensif, mempunyai kecerdasan komprehensif, cerdas hati, cerdas rasa, cerdas pikir, cerdas rasa dan cerdas raga. Paradigma kita adalah seperti itu," ujarnya lagi.

Dalam kaitan itu, tambah menteri lagi, pendidik bukan lagi sekedar pengajar, tapi pendidik adalah agen pembelajaran yang membantu peserta didik yang secara mandiri mengembangkan potensi dirinya melalui olah batin, olah pikir, olah rasa dan olahraga.

Indonesia memiliki pentahapan dalam dunia pendidikan dari tahun 2005 ini sampai dengan tahun 2025. Tahun 2005-2010 adalah pentahapan modernisasi dan peningkatan kapasitas pendidikan, tahun 2010-2015 peningkatan kapasitas dan mutu pendidikan tahun 2015-2020 peningkatan mutu, relevansi dan kompetitas kemudian 2020-2025 pematangan."Tahun 2020-2025 kita bayangkan kita sudah setara dengan Singapura, dengan Korea Selatan dan dengan Jepang," ujarnya.

Ditambahkannya, kebijakan pokok pendidikan Indonesia hanya ada tiga, Indonesia harus fokus betul pada tiga kebijakan ini. Pertama meningkatkan dan memeratakan partisipasi atau akses pendidikan. "Ini permasalahan keadilan, bagaimana kita menciptakan keadilan dalam pendidikan, dengan memeratakan dan meningkatkan akses pendidikan," ujarnya.

Kedua, mewujudkan pendidikan masyarakat yang bermutu, berdaya saing, relevan dengan kebutuhan masyarakat. "Kuncinya adalah tetap mutu, daya saing dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, output pendidikan yang kita cetak adalah bermutu, relevan dan berdaya saing," ungkapnya.

Ketiga, mewujud sistim pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntable dengan menekankan pada peranan desentralisasi dan otonomi pendidikan disetiap jenjang pendidikan di masyarakat dan meningkatkan citra publik. "Konon kabarnya, menurut media, sektor pendidikan adalah sektor terkorup kedua setelah sektor agama, ini harus kita balik, kita harus rubah opini publik semacam itu. Sektor agama, pendidikan menjadi sektor yang paling bersih dan paling akuntable" ujarnya lagi.ant/mim

Protokol Kyoto Akhirnya Sah Berkekuatan Hukum

For Immediate Release
16 February, 2005; 09:00

Perjalanan panjang sebuah negosiasi internasional yang bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan umat manusia

Jakarta, 15 Februari 2005 – Protokol Kyoto akhirnya resmi berkekuatan hukum secara internasional tepat pada 16 Februari 2005, setelah melewati berbagai negosiasi yang alot dan cukup panjang sejak tahun 1997. “Keberhasilan dunia membuat Protokol Kyoto berkekuatan hukum tanpa Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia menunjukkan bahwa komunitas internasional mengakui perubahan iklim merupakan masalah global yang harus ditangani bersama,” ujar Agus P. Sari, Direktur Eksekutif Pelangi.

Protokol ini resmi berkekuatan hukum tepat 90 hari setelah kedua persyaratannya terpenuhi. Tepatnya setelah Rusia resmi meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004. Adapun persyaratan yang dimaksud yaitu:
a. Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh minimal 55 negara;
b. Total emisi negara maju yang meratifikasi minimal mewakili 55% total emisi negara-negara tersebut pada tahun 1990.

Ketentuan utama Protokol Kyoto yaitu mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi total emisi rata-rata mereka sebesar 5,2% di bawah tingkat emisi mereka pada tahun 1990 dalam periode tahun 2008 – 2012.

Namun disadari bahwa upaya pengurangan emisi GRK saja tidak cukup, mengingat bahwa sebesar apapun upaya yang dilakukan, perubahan iklim beserta dampak-dampaknya tetap akan terjadi. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya tindakan adaptasi untuk menghadapi dan menanggulangi bencana-bencana alam tersebut.

Indonesia sebagai negara berkembang tidak dikenakan kewajiban untuk menurunkan emisinya. Namun, sebagai negara kepulauan dengan kegiatan ekonomi yang sebagian besar berbasis pada sumber daya alam, seperti pertanian, perikanan dan kehutanan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. ”Diperkirakan, sebesar 10 persen dari pendapatan nasional Indonesia akan hilang akibat dampak perubahan iklim ini pada pertengahan abad 21 ini,” menurut Olivia, Peneliti Perubahan Iklim Pelangi. Oleh karena itu, upaya adaptasi terhadap perubahan iklim sangatlah penting untuk dilakukan dalam menyelamatkan kehidupan masyarakat di Indonesia.

Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Kyoto pada 3 Desember 2004, melalui UU no. 17/ 2004, sesungguhnya akan menerima banyak manfaat dari Protokol Kyoto. “Melalui dana untuk adaptasi yang disediakan melalui protokol ini, Indonesia bisa meningkatkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan dampak-dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, pergeseran garis pantai, musim kemarau yang semakin panjang, serta musim hujan yang semakin pendek periodenya, namun semakin tinggi intensitasnya,” tambah Olivia.

Selain itu Indonesia juga bisa segera mengambil manfaat dari pengembangan proyek CDM (Clean Development Mechanism – Mekanisme Pembangunan Bersih). ”Berdasarkan perhitungan, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sebesar 125 – 300 juta ton, yang diperkirakan akan memberikan manfaat sebesar $81,5 juta - $1,26 milyar,” ungkap Olivia.

Sampai saat ini sudah ada beberapa kegiatan CDM yang sedang dipersiapkan di Indonesia, misalnya proyek mengganti rencana pembangunan pembangkit listrik batubara dengan geothermal yang dilakukan Unocal Indonesia dan Amoseas Indonesia, atau efisiensi energi untuk produksi di pabrik seperti yang dilakukan Indocement Indonesia.

Resminya Protokol Kyoto berkekuatan hukum tahun ini hanyalah langkah awal dalam menangani perubahan iklim. Banyak hal yang harus dibahas tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, antara lain: akan dilakukan evaluasi kemajuan nyata yang telah dicapai oleh Para Pihak (Conference of the Parties) sejak dicetuskannya Konvensi Perubahan Iklim pada tahun 1992; tahun ini merupakan deadline untuk mengisi semua funds yang dibentuk dan telah dijanjikan pada tahun 2000; negosiasi mengenai apa yang akan terjadi setelah periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008 -2012); serta membahas komitmen yang akan diterapkan bagi negara-negara yang saat ini belum dikenakan kewajiban menurunkan emisi, seperti Indonesia.

Sebagai informasi, Pelangi akan menghadiri perayaan resminya Protokol Kyoto berkekuatan hukum yang akan diselenggarakan di Kyoto, pada 16 Februari 2005. Pada tanggal tersebut akan diselenggarakan seminar mengenai kolaborasi internasional untuk melawan pemanasan globalyang dilanjutkan dengan menyampaikan pesan berupa rekaman video dari pimpinan berbagai negara sebagai seruan untuk bersama-sama berupaya menekan laju perubahan iklim.

Selain itu, pada tanggal 15 Februari, Pelangi bersama Friends of the Earth Jepang, mengadakan sebuah workshop di Tokyo mengenai rejim perubahan iklim pasca 2012 yang ramah lingkungan dan adil.


Catatan untuk editor:

Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih): salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan egara maju untuk melakukan penurunan emisi di luar negaranya, melalui usaha penurunan emisi di egara berkembang. Nantinya, kredit penurunan emisi yang dihasilkan akan dimiliki oleh egara maju tersebut. Selain membantu egara maju dalam memenuhi target penurunan emisi, CDM juga bertujuan membantu egara berkembang dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di egara tuan rumah. CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan egara berkembang.

Pemanasan global dan perubahan iklim adalah sebuah fenomena meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia, seperti penggunaan bahan bakar (minyak, gas dan batubara), perubahan tata guna lahan dan kehutanan, pertanian dan peternakan.

Pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan terjadinya kenaikan suhu, mencairnya es di kutub, meningkatnya permukaan laut, bergesernya garis pantai, musim kemarau yang berkepanjangan, periode musim hujan yang semakin singkat, namun semakin tinggi intensitasnya, dll. Hal-hal ini kemudian akan menyebabkan tenggelamnya beberapa pulau dan berkurangnya luas daratan, pengungsian besar-besaran, gagal panen, krisis pangan, banjir, wabah penyakit, dll,

Sejak tahun 1995, dunia internasional melakukan pertemuan rutin setiap tahun, Conference of the Parties, untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk solusi yang harus dilakukan. Pada tahun 1997 disepakati sebuah ketentuan untuk menangani masalah perubahan iklim, yaitu Protokol Kyoto.

- nn
http://www.pelangi.or.id/press.php?persid=69

'Perjuangkan Perlindungan Produk Khusus'

Rabu, 14 Desember 2005

HONGKONG -- Delegasi Indonesia harus memperjuangkan proposal Strategic Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Hong Kong. Pada konferensi yang dimulai Selasa (13/12) itu, Indonesia mendesak adanya perlakuakn khusus terhadap empat produk pertanian, yakni beras, gula, kedelai, dan jagung.

Ketua Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF), Sutrisno Iwantono, yang juga salah satu delegasi Tim Runding Indonesia, mengatakan negara-negara Uni Eropa tampaknya belum memberikan sinyal untuk menarik subsidi pertanian. AS, kata dia, masih dengan komitmennya untuk mendorong subsidi pertanian dan pemberian subsidi ekspor. AS, jelas Sutrisno, juga akan terus mendorong dilakukannya penurunan tarif secara liberal kepada hampir semua negara berkembang. ''Peluang kita dan negara berkembang lain untuk memperjuangkan proposal SP dan SSM ini akan menghadapi hambatan berat,'' kata Sutrisno yang sudah berada di Hong Kong.

Ia mengatakan, dalam pertemuan dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kemarin malam, pihaknya menyampaikan tiga pokok utama sebagai bahan perundingan. Pertama, pemerintah harus memperjuangkan akses pasar untuk ekspor produk pertanian, khususnya produk-produk tropis. Hambatan nontarif seperti peraturan dan aspek nonekonomis lain harus dilakukan secara transparan dan tidak dibuat-buat. Pemerintah diminta melindungi membanjirnya impor komoditas pertanian.

Poin kedua, pihaknya mendesak kepada negara-negara maju untuk menurunkan subsidi domestik yang sangat distorsif terhadap pasar. Dan ketiga, tambahnya, mendesak negara-negara maju menghapus subsidi ekspor dalam pemasaran produk pertanian mereka di negara maju. Pembukaan KTM WTO ini diwarnai demonstrasi. Meski didemo ribuan pengunjuk rasa, para delegasi negara anggota WTO tetap menggelar perundingan yang dijadwalkan berlangsung 18 Desember mendatang.

Di luar gedung perundingan, ribuan pengunjuk rasa membawa spanduk, menyanyi, dan memukul genderang berkeliling kota Hong Kong. Beberapa terlibat bentrok dengan polisi yang menggunakan helm dan pelindung badan. Mereka mencoba mencegah aksi para pengunjuk rasa dengan menyemprot cairan merica ke arah pengunjuk rasa agar bubar. Sejumlah petani Korea memakai bandana sambil mengusung peti jenazah berwarna merah muda, kuning, dan putih dengan tulisan 'istirahat dengan tenang WTO.' Pengunjuk rasa lainnya mengusung tulisan 'WTO rongsokan' atau singkatan WTO yang diplesetkan menjadi 'World Threatening Organization'.
( zak/hir/ap )

Pemerintah Pusat Diminta Dukung Pembangunan PLTA Poso

Selasa, 13 Desember 2005 20:46:00

Kendari-RoL-- Ketua Dewan Pembina Badan
Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) Fadel Muhamad meminta pemerintah pusat, untuk mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Permintaan Ketua Dewan Pembina BKPRS yang juga Gubernur Gorontalo itu disampaikan pada pembukaan Musyawarah Sulawesi III, yang ikut dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla serta sejumlah

menteri Kabinet Indonesia Bersatu di Kendari, Selasa.

Menurut Fadel, jika pembangunan PLTA Poso itu dapat direalisasikan, termasuk jaringan transmisinya, bisa mendukung pemenuhan kebutuhan energi listrik di seluruh provinsi di Sulwaesi yakni Sulteng, Gorontalo, Sulut, Sulsel, Sultra dan Sulbar.

"Menggunakan PLTA sebagai sumber energi lsitrik akan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTB), seperti yang kini tengah dibangun di Gorontalo, apalagi kalau dibandingkan dengan PLTD," katanya.

Ia mengatakan, salah satu permasalahan mendasar daerah-daerah di Sulawesi adalah terbatasnya energi listrik. Di Teluk Tomini banyak sekali ikan, tetapi nelayan setempat tidak bisa memanfaatkannya secara optimal, karena tidak adanya "cold storage" akibat terbatasnya lsitrik.

Oleh karena itu, kata Fadel, jika pemerintah pusat ingin melihat daerah-daerah di Sulawesi maju seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, harus mendukung penyedian energi listrik di Sulawesi , khususnya dari sumber energi listrik yang murah (PLTA).

Ia mengatakan, program yang selama ini dilakukan BKPRS untuk memajukan Sulawesi di antaranya mengupayakan keamanan regional Sulawesi, visi industri Sulawesi 2010, tata ruang Sulawesi, intermoda Sulawesi dan promosi pariwisata.

Khusus untuk menyusun visi industri Sulawesi, menurut Fadel, BKPRS telah menjalin kerjasama dengan Unindo, sedangkan untuk program Intermoda Sulawesi, Menteri Perhubungan telah menyediakan anggaran untuk membuat desainnya.

Ia mengatakan, untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di Sulawesi, BKPRS telah menyusun kebutuhan angggaran yakni sebesar Rp5,4 triliun, namun oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, dana itu dinilai terlalu kecil sehingga harus ditambah.

"Untuk hubungan dengan luar negeri, BKPRS telah pula menjalin hubungan dengan Mindanao, Malaysia dan Burnai Darussalam," kata Fadel seraya menambahkan bahwa semua yang diprogramkan BKPRS, tidak akan berarti kalau tidak mendapat dukungan dari pemerintah pusat. ant/pur

Kawasan Dago Tertutup Bagi Factory Outlet Baru

(Kamis, 17-11-2005, 9:16:13)

bandung.go.id,

Kawasan Dago tertutup bagi pembangunan factory outlet baru (FO). Sementara itu, dari 51 FO yang ada di Kota Bandung, sekira 17 di antaranya belum mengantongi izin baik IPPT, IMB maupun izin gangguan (HO).

Sebenarnya, di Kota Bandung ini hanya ada empat lokasi yang benar-benar merupakan factory outlet atau outlet dari pabrik tekstil. Tapi, yang saat ini terkenal sebagai FO seperti di kawasan Jln. Riau dan Dago, hanyalah toko pakaian jadi, ujar Kepala Kantor Penanaman Modal Daerah (KPMD), Dandan Riza Wardana, kepada wartawan di ruang kerjanya Jln. Cianjur, Rabu (16/11).

Empat lokasi yang merupakan FO dalam pengertian sebenarnya, menurut Dandan, yakni Gani Arta, Metro, Rumah Mode, dan Pabrik Bajoe. Adapun toko pakaian jadi yang saat ini dikenal wisatawan Jakarta sebagai FO, berjumlah 51 buah yang dimiliki oleh 15-20 pengusaha.

Dari jumlah tersebut, 17 di antaranya belum memiliki izin gangguan. Mereka pada umumnya masih dalam proses pengurusan IPPT dan izin mendirikan bangunan (IMB) pengalihan peruntukan dari rumah tinggal menjadi toko, tambahnya.

FO yang belum berizin, menurut Dandan, sebagian besar berada di Jln. Setiabudi dan empat FO di Jln. Ir. H. Juanda. Saat ini, di kawasan Dago sendiri ada sekira 10 FO, baik yang sudah berizin maupun belum.

Wali Kota Bandung, Dada Rosada menyatakan penertiban FO menjadi program kerja kedua setelah penertiban PKL dan becak. Ia juga menegaskan bahwa di kawasan Dago sudah tidak boleh lagi dibangun FO baru.

Sabtu lalu (12/11), pimpinan seluruh FO di Bandung kami undang untuk sosialisasi mengenai peraturan yang harus mereka ikuti. FO memang menjadi daya tarik wisata Kota Bandung. Tapi, para pemilik FO jangan lantas jadi ngajago karena keberadaan mereka tetap harus dalam koridor aturan, ujarnya.

Ke Cihampelas

Kepala KPMD, membenarkan pernyataan wali kota dan mengatakan pada prinsipnya tidak akan memberikan izin HO bagi FO yang dibangun baru. Namun, untuk FO yang sudah beroperasi kemungkinan besar tetap akan dikeluarkan izin HO, sepanjang mereka telah mengantongi IPPT dan IMB perubahan peruntukan.

FO mau tidak mau, suka tidak suka, menjadi icon Bandung. Keberadaan FO memberikan kontribusi terhadap wisata. Dalam pertemuan Sabtu lalu, kami juga mengimbau para pemilik FO untuk tidak mengubah peruntukan trotoar, tidak mengubah bangunan lama, dan tidak merusak pohon, ujarnya

Menurut Dandan, pengusaha yang ingin membuka FO disarankan membangun di kawasan Cihampelas. Namun, persyaratan akan semakin diperketat termasuk dalam pemberian izin HO, di mana lokasi yang belum memiliki izin tetangga tidak akan diterbitkan surat izin HO.

Para pengusaha yang sudah mengantongi HO, kata Dandan, juga tidak boleh bersikap seenaknya karena sesuai Perda No. 27 tahun 2002 tentang Izin Gangguan dan Izin Tempat Usaha Pasal 19 ayat (1), HO mereka bisa dicabut. Pencabutan HO dimungkinkan jika mengubah jenis usaha, mengubah kepemilikan tanpa pemberitahuan dan menambah luas usaha.

Kalau mereka melakukan pelanggaran itu, kami beri peringatan tiga kali, lalu dicabut izin gangguan yang dimilikinya, katanya.

Dandan mengakui, keberadaan FO secara langsung tidak memberikan banyak kontribusi ke PAD. Pemasukan PAD lebih banyak ditimbulkan oleh side effect keberadaan FO yakni pajak hotel dan restoran serta kesejahteraan pegawai dan pedagang di sekitarnya

Kadar Timbel Bensin Masih Sangat Tinggi

Jakarta, Kompas - Kadar timbel (Pb) dalam bensin yang dipasok ke beberapa kota masih sangat tinggi. Di Bandung, Yogyakarta, Makassar, Palembang, dan Medan ditemukan kadar timbel dalam bensin jauh di atas ketentuan 0,013 gram/liter.

Hasil pengujian bahan bakar minyak (BBM) pada 10 kota oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan, kadar timbel dalam bensin di Yogyakarta 0,068 g/l, Bandung 0,117 g/l, Medan 0,213 g/l, Makassar 0,272 g/l, dan Palembang 0,528 g/l.

Sampel yang diambil di Semarang, Surabaya, Batam, Denpasar, dan Jakarta, menunjukkan bahwa bensin tanpa timbel telah dipasok ke daerah tersebut. Namun demikian, ditemukan satu sampel dari Semarang dan dua sampel dari Surabaya dengan kadar timbel di atas 0,013 g/l.

”Ini kemungkinan disebabkan belum selesainya proses cleaning-up oleh pemasokan bensin tanpa timbel dari kilang Balongan,” kata Koordinator KPBB Ahmad Safrudin, saat memaparkan hasil pemantauan itu di Jakarta, Selasa (22/11).

Menurut Ahmad, masih dipasoknya bensin bertimbel ke sebagian besar kota akan berimplikasi pada berlanjutnya pencemaran timbel di udara dan tingginya kadar timbel dalam darah masyarakat.

Kontaminasi timbel

Data menunjukkan bahwa di kota Bandung, misalnya, kadar timbel di udara ambien telah mencapai di atas 2 µg/m kubik dan 30 persen anak-anak usia sekolah terkontaminasi timbel dalam darahnya melewati ambang batas atau di atas 10 µg/dl. Kondisi itu dapat menurunkan poin IQ pada anak, kelambanan pertumbuhan, dan autisme.

Pada orang dewasa, kandungan timbel dalam darah dapat menyebabkan hipertensi, penyakit jantung, gangguan fungsi ginjal, penurunan kemampuan fisik, gangguan saraf, dan keguguran kandungan.

Berdasar pemantauan udara ambien tahun 2004, warga di beberapa kota besar menikmati udara kategori baik tidak lebih dari dua bulan. Warga Jakarta bahkan hanya 18 hari menikmati udara bersih selama setahun.

Menteri Negara LH Rachmat Witoelar mengingatkan agar semua pihak terus mendukung penggunaan bensin tanpa timbel, sebagai tindak lanjut pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Indonesia Bebas Bensin Bertimbel. Rachmat optimis tekad tersebut dapat segera tercapai sebab pihak terkait telah sepakat, terutama Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Dewan Perwakilan Rakyat, Pertamina, industri otomotif, serta pemerintah daerah.

Upaya penghapusan bensin bertimbel di Indonesia sudah berlangsung sejak 1996. Akan tetapi hingga saat ini baru beberapa daerah yang menerima pasokan bensin tanpa timbel, yakni Jakarta dan sekitarnya (Juni 2001), Cirebon dan sekitarnya (Oktober 2001), Bali (Februari 2003), Batam (Juli 2003), dan sebagian Surabaya (September 2004).

Asisten Deputi Menneg LH Urusan Pengendalian Emisi Sumber Bergerak, Ridwan D Tamin, menambahkan bahwa tahun 2005 Indonesia memberlakukan standar emisi Euro 2 bagi kendaraan tipe baru, yang mensyaratkan penggunaan bensin tanpa timbel dan solar berkadar sulfur rendah (maksimal 500 ppm).

Sulfur solar

Menurut Ahmad, sebagian wilayah di Indonesia masih dipasok solar berkadar sulfur (belerang) tinggi, di atas 2.500 ppm. Belerang secara alami berasal dari minyak mentah, yang apabila tidak dihilangkan saat diproses di kilang, maka akan mengontaminasi bahan bakar kendaraan.

Kadar sulfur dapat merusak mesin kendaraan dan menghasilkan emisi partikulat (PM). Dalam program European Auto Oil, diperkirakan bahwa pengurangan kandungan sulfur dari 500 ppm menjadi 30 ppm akan menurunkan emisi partikulat jadi 7 %.

Emisi partikulat dapat mengganggu kesehatan masyarakat, mengakibatkan pembengkakan membran mukosa karena iritasi sehingga menghambat aliran udara pada saluran pernapasan. Penderita penyakit jantung dan paru-paru lebih rentan, terutama pada usia lanjut. (LAM)