Saturday, December 24, 2005

Terlalu Besar Biaya Kerusakan Akibat Salah Kelola

Kamis, 10 Maret 2005

”Jangan mengadakan hajatan saat ini."
"Kenapa?"
"Bagaimana membuang sampahnya? Kan sekarang warga Bandung kesulitan membuang sampah."

ITULAH kondisi di Kota Bandung dan sekitarnya saat ini. Tumpukan sampah di sejumlah tempat mulai menggunung, menyusul longsornya tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) Leuwigajah dan kemudian dinyatakan tertutup sementara.

Repotnya, dalam hitungan kurang dari tujuh minggu, Kota Bandung akan menjadi tuan rumah hajatan besar bertaraf internasional, peringatan ulang tahun emas Konferensi Asia Afrika (KAA). Tepatnya 24 April mendatang.

Tak heran jika Wali Kota Bandung, Dada Rosada sampai meminta bantuan tim satuan tugas (satgas) ITB Peduli Leuwigajah dan Sampah Bandung Raya” yang dipimpin Dr. Imam S. mempresentasikan manajemen pengelolaan sampah dan penanganan TPAS Leuwigajah, Selasa siang (8/3).

Satgas yang berada di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB telah melakukan pengamatan dan pengujian di lokasi. Anggota tim terdiri dari berbagai jurusan yang ada. Cakrawala berkesempatan bertemu dengan salah seorang anggota tim yang juga Guru Besar Departemen Teknik Lingkungan ITB, Prof.Dr.Ir. Enri Damanhuri di ruang kerjanya, Selasa (8/3).

Menurut Prof. Enri, kondisi di TPAS Leuwigajah saat ini masih menyisakan timbunan sampah dengan lebar permukaan 80 m dan ketinggian mencapai 60 m. Timbunan tersebut berada pada sisi lereng yang curam. Sementara volume terbesar sampah sudah me-ngalami longsor yang menimbulkan korban jiwa cukup besar. “Diperlukan saluran drainase sesegera mungkin agar air tidak lagi menerjang timbunan sampah yang tersisa. Apalagi ada dua titik mata air yang berpindah-pindah di bawah tumpukan sampah,” tuturnya.

Sementara di bagian bawah telah dibangun tanggul sementara dengan membuat rangkaian bronjong dan tumpukan karung yang diisi sampah. Bagian bawah lokasi adalah daerah yang landai, sehingga kecepatan laju sampah akan berkurang dan juga akan direm oleh tanggul sementara tersebut. Lantas ada ide menutup sisi tumpukan sampah menggunakan plastik.

Tim juga melakukan identifikasi sumber-sumber air yang tercemar. Umumnya air permukaan tercemar air dari tumpukan sampah (leachet). Air permukaan yang dulu digunakan untuk irigasi tercemar berat. Saluran irigasi tersebut membentang di utara kawasan persawahan dari Kampung Pojok, Kec. Cimahi Selatan, Kota Cimahi hingga ke Kampung Gunung Aki dan Kampung Cilimus, Kec. Batujajar, Kab. Bandung. Bahkan usaha budi daya pertanian padi sawah sebelum bencana longsor terjadi tidak memberikan hasil yang memadai, karena bulir-bulir padi kebanyakan hampa (hapa).

Sebenarnya, TPAS Leuwigajah yang sudah berumur lebih dari 20 tahun menyimpan potensi kandungan pupuk organik pada tumpukan bagian bawah. Sampah yang sudah puluhan tahun tersebut dapat digunakan sebagai pupuk. Tim Satgas ITB mencatat potensi pupuk kompos atau organik sebesar 30% berdasarkan pengambilan contoh di 20 titik. Namun diperlukan alat pemilah dan pengumpul, serta ban berjalan untuk membawa pupuk sudah jadi tersebut, sekaligus mengurangi tumpukan longsoran.

Paradigma baru pemda

Prof. Enri menyatakan, diperlukan paradigma baru di lingkup pemerintah daerah (pemda) yang tidak sekadar anjuran atau ajakan kepada warga masyarakat untuk memilah-milah sampah. Pemda harus melakukan perubahan. Proses daur ulang (recycle) dan pengurangan (reduce) sampah haruslah difasilitasi. ”Jika masyarakat sudah memilah-milah sampahnya, sistem lainnya juga harus mengikuti. Jangan sampai sampah yang sudah dipilah, akhirnya dicampurkan lagi dalam gerobak sampah, hingga akhirnya bercampur di TPS dan TPA,” katanya.

Pengelolaan sampah kota harus melalui pendekatan menyeluruh. Sudah bukan lagi zamannya membuang sampah begitu saja hingga akhirnya dikolektifkan di TPA. Apalagi jika hanya membuat gunung sampah yang kelak menjadi sumber ancaman bencana longsor.

Sudah waktunya pengelolaan sampah dimulai dari tingkat rumah tangga, dan juga produsen, serta penjual. Masyarakat mulai memilah-milah sampah berdasarkan jenis sampah basah dan sampah kering yang dapat didaur ulang. Selain memilah-milah sampah, jumlah produksi sampah sedapat mungkin dikurangi dengan menggunakan barang atau material tahan lama (awet), menggunakan produk daur ulang atau produk yang dapat didaur ulang, mengurangi benda yang berpontensi menghasilkan sampah yang sulit diuraikan secara alami melalui pembusukan (pengomposan).

Pada tataran produsen barang, mengurangi penggunaan kemasan, mendorong penggunaan produk isi ulang (refill), memberi insentif potongan harga atau produk ramah lingkungan bagi pembeli yang mengembalikan wadah, botol kosong dari produk serupa, serta mengurangi atribut promosi yang tidak dapat didaur ulang.

Lantas bagi kalangan penjual, sedapat mungkin mengurangi penggunaan tas plastik (keresek) untuk membungkus barang yang dibeli konsumen, mendorong konsumen membawa keranjang belanjaan sendiri, menjual produk yang benar-benar ramah lingkungan.

Langkah berikutnya setelah mengurangi produksi sampah atau benda yang berpotensi menjadi sampah adalah melakukan pengolahan sampah basah atau biasa disebut sampah organik. Pengolahan sampah organik menjadi pupuk organik atau pupuk kompos atau juga menggunakan bantuan cacing untuk menguraikan sampah (vermi compost).

Ironisnya, ketika ada warga masyarakat yang tergerak melakukan pengolahan sampah menjadi kompos. Tapi tanpa pembinaan dan fasilitasi, akhirnya kompos tidak laku dan kegiatan itu berhenti. Semacam 32 unit pengomposan yang dirintis di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1991, kini tidak lagi berfungsi. Padahal dari sisi teknologi pengolahan sampah di tingkat rumah tangga atau lingkungan tidaklah terlalu rumit.

Secara sederhana, unit pengomposan bisa menggunakan wadah khusus yang dilengkapi lubang untuk sirkulasi udara, atau membuat lubang dalam tanah untuk memendam sampah basah agar kelak terjadi penguraian menjadi kompos. “Tapi apa insentif yang diberikan pemda terhadap upaya me-ngurangi beban di TPA? Apakah ada pengurangan biaya restribusi sampah, ataukah ada layanan lain yang diberikan kepada warga yang mengolah sampah?” ujar Enri mempertanyakan.

Jika sampah yang dapat didaur ulang sudah ditangani sejak tingkat rumah tangga, maka tidak akan ada lagi pemulung yang mencari sampah daur ulang di lokasi TPAS. ”Keberadaan pemulung di TPAS menunjukkan masih banyak potensi sampah yang bisa dipisahkan sejak awal,” ujar Enri.

Biaya kerusakan

Dalam hal pengelolaan di TPAS Leuwigajah, seharusnya dibuatkan penyengkedan (terasering) agar tumpukan sampah tidak terlalu terjal. Jika selama ini truk sampah hanya membuang sampah dari atas lereng agar turun ke lembah (open dumping), sudah seharusnya cara itu diubah.

Truk sampah turun ke bawah untuk membuang sampah lalu dipadatkan menggunakan alat berat. Ketinggian tumpukan sampah maksimal adalah 5 m. Lantas dibuat lagi tumpukan berikutnya juga dengan ketinggian maksimal 5 m. Setiap ada kenaikan 5 m, di ujung batas terasering dibuatkan saluran drainase agar air bisa mengalir di atas permukaan. Dengan cara demikian, sampah menjadi padat dan solid pada bagian bawah.

Itulah pelajaran berharga dari kesalahan penanganan TPA, khususnya TPAS Leuwigajah. Kerugian akibat bencana jauh lebih besar dibandingkan operasional TPAS secara baik dan benar. Belum lagi jika dihitung dengan korban jiwa yang sangat banyak akibat tertimbun sampah. Terlalu kecil ongkos pengelolaan sampah yang harus dikeluarkan pemda jika ingin TPA tidak menimbulkan bencana. Biaya sosial yang akhirnya harus dikeluarkan akibat kerusakan yang terjadi (damage cost) jauh lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan jika sampah dikelola dengan baik sejak awalnya.(dik/”PR”/berbagai sumber)***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home