Monday, October 09, 2006

Emil Salim

Republika, Minggu, 16 Juli 2006

Namanya boleh dibilang tidak pernah jauh dari isu lingkungan hidup. Kendati tidak lagi menjabat sebagai menteri, Prof Dr Emil Salim yang sempat menjadi menteri sepanjang 1971 hingga 1993 ini masih kerap diundang dalam pertemuan-pertemuan yang membahas masalah lingkungan di berbagai negara.

Sebuah persembahan untuk dedikasinya itu diperoleh sekitar akhir Juni lalu. Ketika itu doktor lulusan University of California, Berkeley, AS, 1964 ini kembali diundang menghadiri pertemuan menteri-menteri lingkungan di Jepang. Tak disangka, di negeri matahari terbit itu pria kelahiran Lahat, Sumatra Selatan, 8 Juni 1930 ini baru diberi tahu, namanya satu dari dua penerima penghargaan Blue Planet Prize ke-15 dari Yayasan Asahi Glass. `'Siapa yang mengusulkan, saya sendiri tidak tahu,'' tuturnya.

Emil dipilih karena konsepnya mengenai sustainable development bergema sampai ke dunia internasional. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini dianggap sebagai pionir dengan ide mengintegrasikan lingkungan dalam perencanaan pembangunan. Emil merupakan orang Indonesia pertama dan orang Asia ketiga di luar Jepang yang menerima penghargaan tahunan itu. Belum lama ini Emil Salim menerima Burhanuddin Bella dari Republika di rumahnya, bilangan Taman Patra, Kuningan, Jakarta. Tak hanya soal penghargaan itu, Emil juga mengungkapkan konsep sustainable development dan kondisi lingkungan saat ini. Petikannya:

Bagaimana ceritanya hingga ada penghargaan itu?
Saya ikut pertemuan menteri-menteri lingkungan yang diprakarsai oleh menteri lingkungan Jepang tanggal 24-25 Juni 2006. Jadi, tidak ada hubungan. Tapi rupanya, ada pengumuman ini (menunjuk surat pemberitahuan). Tapi, itu terpisah. Saya di sana lantas dikasih tahu ini (penghargaan). Intinya, ada dua orang yang terpilih dan, katanya, rupanya dari sejak kita 1972 menghadiri Stockholm, 1978 jadi menteri (Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup), terus sampai 2002, jadi 30 tahun.

Bagaimana sebenarnya konsep sustainable development itu?
Waktu 1978, persoalan yang Pak Harto tugaskan, jangan mempertentangkan pembangunan dan lingkungan. Bagaimana kedua itu bisa menyatu. Nah, itu yang kemudian menjadi dasar pemikiran, penyatuan lingkungan di dalam pembangunan.

Karena saya ekonom, maka pertama-tama saya lihat pada peranan pasar, sebab pembangunan menggunakan pasar dan pasar itu tidak menangkap isyarat lingkungan dan tidak menangkap isyarat sosial. Maka, bagaimana mempengaruhi pasar supaya kekekurangan tadi teratasi. Itu ada melalui kebijakan pajak, anggaran, subsidi, dan macam-macam. Itu satu permasalahan.

Permasalahan kedua, di dalam pembiayaan bisnis, pengusaha tidak memasukkan ongkos lingkungan ke dalam biaya. Jadi ketika tempo hari pertambangan boleh masuk hutan lindung, tidak memperhitungkan bahwa hutan lindung tidak menghasilkan barang, tapi menghasilkan jasa lingkungan. Mencegah banjir, udara bersih, tempat tinggal hewan, tumbuhan, dan macam-macam. Ini tidak masuk ke dalam biaya perusahaan sehingga pertambangan menguntungkan kalau membuka hutan lindung. Padahal, dengan hutan lindung dibuka, hutan habis, ada banjir nanti. Siapa yang memikul biaya banjir, kan rakyat. Jadi, konsepnya, memasukkan lingkungan dalam pembangunan.

Konsep ini ideal. Tapi bagaimana meyakinkan semua kalangan agar bisa sepaham?
Pertama, insentif. Maka lahir Kalpataru, Adipura. `'Kalau boleh salaman sama Presiden, potret.'' Itu kan insentif. Ada semacam kebanggaan. Kedua, undang-undang lingkungan. Tahun 1982, sudah ada UU Pengelolaan Lingkungan, sudah ada Amdal. Tapi masalahnya, enforcement. Ini kan menteri negara. Pelaksanaan oleh menteri-menteri terkait. Apakah yang melanggar Amdal ditindak? Apakah Amdal itu diperiksa? Apakah pelanggar yang mencemarkan dihukum? Itu persoalan. Maka, sekarang ada illegal logging, illegal fishing, illegal mining, illegal trading. Itu legal ada peraturan, tapi ilegal karena tidak mengikuti peraturan.

Ketika kali pertama diangkat menjadi menteri, orang pertama yang dihubungi Emil Salim adalah Buya Hamka. ''Buya Hamka bilang, kau pegang Alquran. Alquran yang mengatakan, telah tampak kerusakan di muka bumi karena ulah tangan manusia. Yang merusak bumi bukan binatang, bukan tumbuhan, tangan ini.''

Pada Emil, Buya berpesan untuk mendekati pondok pesantren dan ulama. Pondok Pesantren Annukaya, Guluk-guluk, Sumenep, Madura yang ketika itu dipimpin oleh KH Basyib adalah pihak yang sangat membantunya. ''Apa yang menarik? Madura itu kan kering. Tapi, di Guluk-guluk, ada hutan hijau.''

Rupanya, para santri di sana, atas perintah sang kiai, rajin menanam pohon. Ketika hal itu, ia tanyakan pada KH Basyib, dia mendapat penjelasan yang menyejukkan. `'Saya mengajarkan melaksanakan Islam. Untuk itu kita wajib shalat lima waktu. Untuk kesempurnaan shalat kita harus bersih dengan air wudhu. Supaya bersih maka air pun harus bersih. Air harus ada sungai. Sungai harus ada mata air. Mata air harus ada hutan. Jadi, saya tanam pohon supaya ada air, supaya ada air jernih, supaya kita bersih shalat, supaya sempurna shalat.'' Dia tidak tahu tentang lingkungan.

Sejak dulu apakah masalah lingkungan banyak pada soal law enforcement?
Persoalannya bukan hukum. Persoalannya adalah, orang bilang, kami ini lapar, kami ini perlu menebang kayu agar ada tanah untuk ditanam. Jadi, underdevelopment, ketertinggalan pembangunan, menjadi alasan untuk mengubah alam. Saya berkata, betul. Kita perlu berantas kemiskinan, kita perlu produksi pangan macam-macam, tapi yang saya ingin adalah, bukan dengan eksploitasi sumber daya alam, tapi dengan perkayaan sumber daya alam. Itu membawa lingkungan ke tengah-tengah arus pembangunan. Kalau kita ekspor kayu, kayu itu harganya berapa? Tapi, kalau kulit kayu kita ubah jadi obat, nilainya lebih tinggi. Kalau kita ekspor ikan, itu dagingnya. Tapi, di dalam ikan itu ada minyak ikan yang punya omega 9, omega 3. Lebih kaya. Itu menghendaki otak untuk mengubahnya. Kita punya, orang-orang kita tidak bodoh.

Kenapa sulit terlaksana?
Karena bagian terbesar mau cepat. Tebang kayu, ekspor, kan cepat. Umumnya orang berpikir jangka pendek.

Dengan berbagai bencana alam yang terjadi, apakah ini juga bagian dari pemikiran jangka pendek itu?
Bencana alam bukan hanya di Indonesia. Amerika, Eropa, Asia juga ada bencana alam. Semua menderita karena bencana alam. Apa yang terjadi kalau ada bencana alam? Mengapa ada penyakit avian flu, ada SARS. Apa itu semua? Para ahli berkata, memang bumi ini mengalami perubahan penting dalam makna meningkatnya suhu bumi. Jadi, ada global warning, pemanasan bumi. Akibat dari pemanasan bumi tersebut, temperatur naik, permukaan laut naik, iklim berubah.

Mestinya sekarang ini iklim kering. Toh ada hujan. Topan yang terjadi di Amerika, kenapa bisa begitu dahsyat, banjir begitu tinggi. Karena ada peningkatan laut, suhu, dan iklim. Iklim ini berangsur-angsur menjadi semakin panas. Kalau iklim semakin panas, maka bakteri-bakteri tumbuh. Itu menjadi penyebab dari lahirnya jenis penyakit baru. Avian flu, SARS, itu binatang dulu yang kena. Tapi waktu kena binatang, berimbas pada manusia. Jadi, ramalan orang adalah, akan ada bencana lebih banyak karena permukaan laut naik.

Khusus di Indonesia, apakah bencana alam yang terjadi di banyak daerah karena gejala alam atau ada andil manusia?
Secara makro, ada alam. Tapi begini, kalau saya pergi ke daerah, hutan jati di Jawa Timur habis. Pergi dari Sumatra Selatan ke Jambi, habis. Kalau saya tanya, kapan ini? Semua orang-orang berkata pada saya, sejak ada reformasi. Apa yang terjadi? Pada waktu 1999, sentral otoritas ke daerah. Nah, di daerah itu, pikiran adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ingat, bagaimana dapat PAD yang cepat? Tebang pohon, cepat sekali dapat hasil.

Setelah 1999, diikuti dengan desentralisasi, di mana ada pelimpahan hak untuk izin penebangan pada hutan-hutan beratus hektar. Dulu, harus ada izin macam-macam. Tapi, desentralisasi diikuti dengan pemilihan pejabat yang pikiran jangka pendek, seiring dengan lemahnya pegangan dari pemerintah pusat.

Ketika melihat situasi yang makin memprihatinkan itu, apa yang perlu dilakukan segera?
Kita mesti ke daerah sekarang, kita galakkan, 'Kau yang bertanggung jawab. Kalau banjir bukan Jakarta yang banjir. Yang banjir kan kamu, yang longsor kan kamu?'
Sekarang kelihatan toh, daerah bereaksi. Di Sinjai, sekarang ada wajib tanam. Jadi, kalau tadi bam bam bam (menebang), sekarang kesadaran wajib tanam. Tapi, saya kira kita mesti mendorong pemda-pemda untuk menyelamatkan lingkungan.

Menurut Anda, apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan setidaknya untuk Jakarta?
Belajar dari bencana-bencana ini, bahwa ini ada daya dukung lingkungan. Maksudnya, kemampuan alam mendukung pembangunan. Itu yang harus kita jaga. Kalau sedikit saja hujan terus banjir Jakarta, berarti daya dukung alam Jakarta sudah berat. Maka, kita harus membangun dengan memperhitungkan daya dukung alam.

Di mana alam sudah tidak bisa menopangnya, kita kurangi. Contoh, Jakarta jadi Botabek. Jakarta sangat padat. Jawaban saya adalah keluarkan `gula-gula' Jakarta, lempar keluar. Bayangkan kalau bandara internasional tetap di Kemayoran dan Halim, bubar. Coba bayangkan, kalau Cengkareng itu tidak dibangun, semua pelabuhan udara di Kemayoran atau di Halim, macet total Jakarta. Bayangkan kalau UI tetap di Salemba, bubar Salemba itu. Artinya, kalau kita lempar ke Cengkareng, lempar ke Depok, kita kurangi beban ini. Batasi Jakarta pada fungsi ibu kota negara. Jangan pikirkan pindahkan ibu kota dari Jakarta, karena kita ada Istana di sini, ada BI, ada yang besar-besar itu.

Di usianya yang menginjak 76 tahun, Emil Salim tidak kehilangan 'taring'. Sosok yang semasa mahasiswa itu terbilang aktif berorganisasi itu tetap terlihat lugas berbicara dan dengan nada teratur dan sistematis. Suami Roosminnie Roza itu tetap tangkas bertutur. Agaknya, kegemaran berdebat dan tidak gentar menghadapi siapa saja tetap melekat pada dirinya hingga kini. Terlebih untuk soal lingkungan. Pria peraih penghargaan Bintang Mahaputra Adiprana (1973) dan Satya Lencana Pembangunan (1982) ini tidak akan pernah reda berjuang untuk lingkungan.

Kini, hari-hari Emil Salim dijalani dengan kesibukan mengajar di Pascasarjana Universitas Indonesia dan Fakultas Ekonomi. ''Jadi, bolak-balik Salemba-Depok.'' Di luar itu, dia masih bergelut di beberapa LSM. Ada juga perkumpulan pemulihan keberdayaan masyarakat, untuk masyarakat yang benar-benar berada di bawah garis kemiskinan. ''Jadi, saya masih sering ke daerah, berputar-putar cek kegiatan, melihat-lihat negeri. Sampai ke Halmahera Selatan.'' Dan, Emil menjalani semuanya dengan senang hati. ''Matahari tetap terbit. Saya tidak mengerti ada post power syndrom. Masih banyak sekali jalur-jalur yang bisa kita tempuh.''

Benarkah segala bencana yang terjadi ini karena dosa di masa lalu? Apakah memang butuh waktu lama hingga akhirnya saat ini baru terasa dampak lingkungan itu?
Dulu, kalau ada hujan, masih bisa bertahan. Tapi, kalau kemudian yang menahan itu hilang, ada hujan, hancur. Jadi bukan lama, tapi akar-akar pohon yang menahan itu hilang. Nah, kehilangan kemampuan memegang alam itu menyebabkan hujan, banjir.

Ada berbagai peta, 1950, 1960, 1970, 1980, 2000, kita lihat, menciut hutan. Itu perbuatan manusia, bukan alam. Dulu, 1980-an, 600 ribu hektare hutan habis, sekarang 3 juta hektare. Kenapa itu? Karena izin dari industri kayu lebih banyak dibandingkan dengan kayu yang bisa ditebang secara tebang pilih. Dulu harus tebang pilih, jadi yang lebarnya 60 cm bisa ditebang. Dengan begitu, maka jumlah kayu yang ditebang harus bertemu dengan industri yang cocok jumlahnya. Tapi, industri terus tambah, naik. Janjinya dulu, ada hutan tanam industri. Ini tidak jalan. Maka ini mengambil hutan alam.

Kalau begitu, kondisi sekarang lebih rumit dari masa lalu?
Lebih rumit. Lebih lagi, dulu ini presiden, ini DPR (sambil mengangkat kedua tangan yang tidak sama tinggi). Sekarang begini (kedua tangan sama tinggi). Hitam kata presiden, belum tentu DPR terima. Berdebat terus. Situasi ini menghabiskan waktu. Belum lagi di dalam DPR muncul politicking. Karena orang bicara, bukan bicara kepentingan rakyat lagi. Mereka bicara `'Nanti 2009 aku mesti menang, misalnya itu.'' Dulu, itu tidak ada. Aku mau lingkungan, aku mau tebang pilih, bagaimana itu jalan. Sekarang, `Kira-kira apa ya yang bisa laku 2009?'

Anda sendiri, apa yang Anda mimpikan sekarang?
Saya ingin membentuk Fakultas Ilmu Lingkungan. Tapi, itu mengharuskan ada 20 doktornya. Sekarang baru ada delapan, kita perlu 20 orang doktor di bidang itu.

Andai diminta kembali jadi menteri, Anda bersedia?
Kita sudah senja, sudah `maghrib'. Menteri sebaiknya yang masih `subuh', lebih baik dan lebih fresh. Hari masih panjang, buat apa pakai yang `maghrib'?
( )

0 Comments:

Post a Comment

<< Home