Thursday, January 19, 2006

Kepak Sayap Lebah

Sabtu, 14 Januari 2006

Bagaimana pula lebah bisa mengangkut nektar yang beratnya kadang menyamai berat tubuhnya?

Selama ratusan tahun, lebah menjadi misteri. Tak seorang pun, bahkan saintis paling kaliber, mampu menjelaskan fenomena kepakan sayap lebah. Maka serangga kecil ini pun segera menjadi simbol kegagalan ilmu pengetahuan dalam mengungkap alam semesta.

Para penyokong intelligent design menjadikan lebah sebagai alat kritik mereka terhadap sains. ''Sains yang agung itu bahkan tak dapat menjelaskan semata kepak sayap lebah,'' kata penganut aliran itu. ''Sains tak pernah mampu berkutik di hadapan sebuah fenomena,''.

Intelligent design adalah aliran yang mempercayai bahwa kompleksitas alam semesta tidak tercipta akibat proses evolusi alamiah, melainkan interverensi sebuah kekuatan besar (Supreme Being). Karena itu mereka percaya sains bersifat inkonsisten dan terbatas. Menurut mereka, fenomena kepak sayap lebah adalah bukti nyata kelemahan fundamental sains.

Tapi anggapan itu kini tampak mulai keliru. Awal pekan ini, para peneliti dari California Institute of Technology, Amerika Serikat (AS), mengumumkan bahwa mereka berhasil membongkar fenomena kepak sayap lebah. Douglas Altshuler, salah seorang anggota tim peneliti, secara 'provokatif' melukiskan bahwa kepakan sayap lebah ternyata jauh lebih eksotis dari yang diperkirakan.

''Serangga kecil ini memiliki kepakan sayap yang amat luar biasa cepat dalam jumlah yang amat mencengangkan,'' tuturnya. Bayangkan, kata Altshuler, setiap satu detiknya seekor lebah dapat mengepak hingga 230 kali! ''Tidak ada yang mengira sebelumnya,'' lanjut dia.

Temuan ini, kata Altshuler, sekaligus meneguhkan teori lama yang menyebutkan bahwa semakin kecil seekor serangga maka semakin banyak kepakan sayapnya. Asumsi ini didasarkan atas pemahaman bahwa semakin kecil seekor serangga semakin kecil pula performa aerodinamisnya. Guna mengimbangi menurunnya performa aerodinamis, sang serangga, menurut teori tadi, harus melipatgandakan jumlah kepakan sayap agar tetap stabil.

Bagaimana para ilmuwan Caltech ini menguak rahasia kepak sayap lebah? Jawabnya, kejelian dalam memanfaatkan aplikasi teknologi tingkat tinggi. Adalah kombinasi foto digital dan model robotik yang memungkinkan para saintis mampu mengurai mekanisme terbang lebah, hingga pada gilirannya menghitung jumlah kepak sayap lebah per detik.

''Selama bertahun-tahun, para saintis mencoba memahami mekanisme terbang hewan dengan menelaah karakteristik aerodinamis pada pesawat terbang atau helikopter dan menerapkannya dalam eksperimen mereka. Sayangnya, metode ini gagal memberi jawaban yang memuaskan,'' kata Altshuler.

Namun, lanjut Altshuler, dalam sepuluh tahun terakhir para ahli biologi mengubah cara bereksperimen mereka. Mereka mulai menggunakan pendekatan model robotik. Para ahli, terangnya, menciptakan robot mini yang memiliki kemampuan meniru gerakan sayap serangga, bahkan dengan kecepatan amat tinggi, guna menganalisis karakter aerodinamis kepak sayap lebah. Mereka juga melakukan analisis gerakan lewat image digital.

Secara sederhana, pertama-tama para saintis di Caltech ini memfoto gerakan sayap serangga itu selama berjam-jam. Hasil jepretan kamera digital tadi lantas dijadikan acuan untuk proses imitasi gerakan, yang dilakukan oleh model robotik bersensor. Tujuan imitasi adalah untuk mengukur kekuatan riil kepak sayap dan karakter gerakannya. Berbasiskan data-data ini dapat diungkap sejumlah fakta penting, termasuk berapa kali lebah mengepakkan sayap setiap detiknya.




Inspirasi Model Baru Pesawat Kargo

Riset robotik ini, lebih jauh, berhasil mengungkap fakta-fakta lain soal lebah. Salah satunya adalah mengungkap kemampuan luar biasa serangga kecil ini dalam mengangkut nektar dan madu. Bayangkan, kata Altshuler, sementara mereka melayang di udara, para lebah ini juga harus mengangkut kargo di tubuhnya. Padahal berat nektar yang ditopang seringkali sama dengan berat keseluruhan tubuhnya. Bagaimana lebah melakukan itu?

Untuk memahami pola survival lebah, para peneliti bereksperimen dengan memasukkan sekawanan lebah pada ruang tertutup. Ruangan itu lalu diisi campuran oksigen dan helium yang mendorong terciptanya kondisi luar biasa. Dalam kondisi abnormal itu tampak bahwa kawanan serangga ini bekerja jauh lebih keras, yakni dengan meningkatkan amplitudo kepakan sayap tanpa mengurangi frekwensinya.

"Mereka bekerja seperti mobil balap,'' tutur Altshuler. `'Mobil balap mampu melipatgandakan revolusinya per menit, namun gagal melaju lebih cepat dalam gir besar. Seperti lebah, mereka tidak efisien,'' lanjut Altshuler.

Riset ini paling tidak berhasil mengungkap model kompensasi lebah dalam kondisi luar biasa. Tapi hebatnya, berbasiskan temuan-temuan ini, para peneliti di Caltech malah memperoleh inspirasi untuk menciptakan temuan spektakuler baru. Yakni, desain pesawat terbang yang mampu bergerak ke berbagai medan kendati mengangkut beban yang setara dengan massa tubuhnya.

Desain pesawat ini kelak mengadopsi sifat aerodinamis lebah. Lewat kepakan sayapnya, serangga kecil membuktikan bahwa massa yang besar, performa aerodinamis yang menurun, serta kondisi udara yang luar biasa tidak menjadi hambatan untuk bergerak lincah di udara. Pesawat ini nantinya akan sangat bermanfaat sebagai alat pengangkut dan transportasi dalam kondisi bencana, seperti tsunami.
( imy/livescience )

0 Comments:

Post a Comment

<< Home