Thursday, January 19, 2006

Membangun Ecocity

Rabu, 18 Januari 2006

Warga miskin diminta mengumpulkan sampah untuk ditukar dengan iket bus.

Belajarlah dari Curitiba. Tercatat sebagai salah satu kota terkumuh dan termacet di Brasil pada dasawarsa 1970-an, Curitiba mampu bersolek diri secara radikal. Kota itu kini menjadi kawasan paling apik di Negeri Samba. Bahkan, pada 1996, Curitiba dianugerahi predikat the most innovative city in the world. Banyak pemerintah kota di berbagai dunia melirik Curitiba.

''Jakarta barangkali bisa meniru Curitiba,'' tutur Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Dr Ir Hermanto Dardak, dalam seminar penataan ruang berbasis aspek ekologis di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Selasa (17/1).

Pada 1970-an Curitiba --terletak di sebelah tenggara Brasil, sekitar 1.081 km dari ibu kota Brasil, Brasilia-- merupakan kawasan langganan macet dan banjir. Curitiba juga terancam ledakan penduduk, seperti kebanyakan kota di Amerika Latin saat itu. Namun sebuah revolusi tata kota, Curitiba Master Plan, yang dicetuskan arsitek Universitas Federal Parana, Jaime Lerner, mengubah secara fundamental ibu kota negara bagian Parana, Brasil, itu. Proyeknya dimulai ketika Curitiba masih berpenduduk 360 ribu jiwa.

Hermanto menilai perombakan fundamental yang dilakukan Curitiba pertama-tama adalah mengubah desain tata kotanya dari semula terpusat menjadi linear. Jantung kota --gedung-gedung komersial, pemerintahan, pendidikan atau bisnis-- diletakkan dalam satu situs, sementara tempat tinggal penduduk dibuat mengitari.

Perubahan fundamental ini mendorong perubahan radikal pada sistem transportasi. Pemerintah mesti membangun jalan-jalan penghubung dari tempat tinggal penduduk langsung menuju pusat kota. Busway adalah alat transportasi utama. Selain itu, jalur khusus untuk sepeda sepanjang 150 kilometer pun didirikan.

Transportasi yang menyenangkan memang menjadi keunggulan kota yang kini berpenduduk 1.710.000 jiwa (data 2003). Dalam urusan transportasi, Curitiba menerapkan trinary road system. Ini adalah model jalanan yang menggunakan dua jalur jalan besar yang berlawanan arah. Namun, yang istimewa, ada dua jalur sekunder di tengah yang dimanfaatkan sebagai jalur ekslusif untuk busway. Hampir semua jalanan di Curitiba menerapkan sistem ini.

Terdapat 12 terminal penumpang di Curitiba, yang tersebar di seluruh penjuru mata angin. Terminal-terminal ini memberi kemudahan, yakni memungkinkan penumpang dapat meninggalkan dan berganti bus tanpa harus membeli tiket baru.

Untuk menurunkan minat warga menggunakan mobil, selain menurunkan angka kecelakaan, pemerintah kota Curitiba juga menempatkan 200 radar lalu lintas di seluruh penjuru jalanan utama. Teknologi berbasis sensor ini dipasang di trotoar yang diperlengkapi kamera digital. Fungsinya untuk mendeteksi setiap mobil yang melaju di atas speed limit. Instrumen akan merekam nomor mobil nakal ini, termasuk data waktu dan tempat kejadian, lalu mengirimnya ke tempat tinggal sang pengemudi dalam bentuk speeding ticket. Mereka diharuskan membayar denda.

Sistem ini mampu mengirim tiket ke seluruh Brasil. Adapun speed limit yang ditetapkan terhitung 'keterlaluan', yakni 60 kilometer per jam, bahkan ada pula yang 40 kilometer per jam di lokasi padat pejalan kaki. Secara bersamaan, para pejalan kaki dimanjakan dengan trotoar luas yang dibangun di sisi-sisi jalan.

Banjir
Patut dicatat pula komitmen serius Curitiba dalam menangkal banjir. Seolah tak ingin air bah berulang, Curitiba melipatgandakan jumlah ruang terbuka hijau (RTH)-nya. Dari semula satu meter persegi per kapita RTH pada 1970 menjadi 55 meter persegi per kapita pada 2002.

Jumlah ini sudah melebihi 30 persen dari luas kota. Bandingkan dengan Jakarta yang areal RTH-nya cuma sembilan persen. Padahal, agar terhindar dari banjir, minimal RTH adalah 30 persen luas kota. Banyak kota di Indonesia, seiring pembangunan gedung komersial, areal RTH-nya menurun secara drastis dan tak lagi proporsional .

Berbeda dengan tren di Indonesia, Curitiba menempuh segala cara untuk memperbanyak RTH. Bekas tempat pembuangan akhir (TPA) disulap menjadi taman-taman yang lebat dan asri. Danau-danau artifisial dibangun di tengah kota. Sementara RTH dilipatgandakan, bangunan komersial terus dibangun. Keduanya tidak saling mengganggu.

Kawasan kumuh
Keberhasilan lain Curitiba adalah memupuskan secara radikal jumlah kawasan kumuh. Pemerintah menerapkan strategi insentif yang cerdas untuk merelokasi permukiman kumuh tadi, bukan sekadar menggusurnya. Misalnya, kata Hermanto, para pengembang perumahan hanya akan diberi izin membangun jika bersedia membuat sebuah permukiman khusus untuk para pemukim kumuh.

Konsep pembangunan partisipatif. Inilah kunci sukses Curitiba, yang terletak di dataran tinggi sekitar 3.120 kaki dari atas permukaan laut. Jaime Lerner, sang arsitek Curitiba, dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa pembangunan harus melibatkan dan memperoleh dukungan warga. Warga ditempatkan sebagai subjek, bukan objek. ''Setiap orang harus memberi kontribusi dan sinergi,'' kata Lerner.

Untuk menjamin kota tetap bersih, misalnya, para warga --biasanya warga miskin-- diminta mengumpulkan satu kantong plastik sampah yang dapat ditukar dengan susu, telor, atau tiket bus. Strategi tata kota ini berpengaruh terhadap produktivitas penduduk. Jika pada 1970-an warga Curitiba berpenghasilan di bawah rata-rata penduduk Brasil, kini penghasilan mereka dua kali lipat pendapatan per kapita nasional. Kini, penduduk --terutama warga miskin-- sudah memperoleh fasilitas kesehatan gratis. Curitiba kini dijuluki sebagai kota yang memperhatikan ekologi. Ecocity.




Menjaga Ekologi Kota

Tak keliru Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menyatakan bahwa pada 2014 jalanan di Jakarta akan macet total. Kecenderungan serupa sebetulnya bukan hanya akan menimpa Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia.

Direktur Unesco untuk Indonesia, Han Qui, Selasa (17/1), menyatakan bahwa pada 2010 sebanyak 51 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Ini akan memicu permasalahan sosial yang kompleks, salah satunya kemacetan. Namun kemacetan terhitung persoalan ringan ketimbang gangguan keseimbangan ekologis akibat membludaknya penduduk.

Deputi Bidang Teknologi Informatika, Energi, Material, dan Lingkungan BPPT, Marzan Aziz Iskandar, menyatakan peristiwa banjir atau tanah longsor merupakan contoh nyata dari kebijakan penanganan wilayah yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Pada kurun 1990-2000 Batam mengonversi 67,9 persen hutan dan 44,4 persen mangrove untuk kawasan permukiman, industri, dan komersial. Pada kurun yang sama, Malang mengonversi 33,5 persen hutan untuk kawasan permukiman dan komersial.

Menurutnya, produk tata ruang di Indonesia saat ini lebih berorientasi pada pembangunan fisik untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya, kebutuhan ruang untuk berlangsungnya fungsi ekologis kurang terakomodasi. ''Padahal keberlanjutan suatu wilayah harus didukung oleh keberlanjutan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologis secara seimbang,'' paparnya.

Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Dr Ir Hermanto Dardak, menyatakan perlu political will dari pemerintah setempat untuk membangun sebuah kota yang berkelanjutan. ''Contoh ekstrem adalah di Curitiba, Brasil. Di kota itu malah ada sebuah badan independen yang mengatur tata kelola kota dan lingkungan. Bahkan seorang wali kota tak boleh mengintervrensi,'' terangnya.

Stephen Leahy, seorang pengamat lingkungan dan pertanian, dalam artikelnya di situs sustainabletimes, menyatakan bahwa setiap kota, kaya atau muskin, dapat memberdayakan warganya untuk mengatasi persoalan lingkungan. ''Namun hal pertama yang tak mudah dilakukan adalah memunculkan motivasi untuk mengubah diri. Curitiba mampu mewujudkan dan menikmatinya sepanjang 25 tahun terakhir ini lewat sebuah political will dan kepemimpinan yang kuat,'' tulis Leahy.
(imy )

0 Comments:

Post a Comment

<< Home