Tuesday, January 24, 2006

Awas Formalin di Plastik Makanan

Jumat, 20 Januari 2006

Mengapa makanan yang masih panas tak boleh dimasukkan ke dalam plastik atau kotak styrofoam?

Pernah memesan minuman teh panas dalam gelas styrofoam? Hati-hati. Pernah juga memesan mi bakso yang masih panas lalu dibungkus dengan plastik transparan? Hati-hati. Pun pernah memesan makanan gorengan yang masih panas dibungkus dengan plastik hitam? Hati-hati.

Karena, formalin ternyata bukan hanya ditemukan pada ikan, mi, baso, atau tahu. Dosen teknologi pangan dari Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan, Lanita Msc MEd, mengungkapkan bahwa zat pengawet mayat itu juga ditemukan pada plastik pembungkus makanan dan styrofoam.

Berdasarkan penelitian, ujar Lanita, dalam acara diskusi Bahaya Formalin bagi Kesehatan yang digelar Pengurus Besar Persatuan Ali Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) pada 12 Januari lalu, pembungkus berbahan dasar resin atau plastik rata-rata mengandung 5 ppm formalin. Satu ppm adalah setara dengan satu miligram per kilogram. Formalin pada plastik atau styrofoam ini, lanjutnya, merupakan senyawa-senyawa yang secara inheren terkandung dalam bahan dasar resin atau plastik.

Namun, kata dia, zat racun tersebut baru akan luruh ke dalam makanan akibat kondisi panas, seperti saat terkena air atau minyak panas. Karenanya, menurut Lanita, makanan yang masih panas jangan langsung dimasukkan ke dalam plastik atau kotak styrofoam. Bersama formalin, luruh pula zat yang tak kalah racunnya yakni stiarin, yang biasa terkandung pada plastik.

Secara umum, zat racun seperti formalin dan stiarin terdapat dalam produk berbahan dasar resin. Namun, dalam kadar cukup tinggi, senyawa-senyawa ini terkandung dalam produk plastik berkualitas rendah seperti, plastik PVC. Contoh sederhana plastik dengan kadar senyawa racun tinggi adalah kantung plastik warna hitam yang biasa digunakan toko-toko untuk mengantongi barang belian. Ia menyarankan agar kantong plastik ini tidak disatukan dengan makanan, apalagi yang masih panas, seperti goreng-gorengan.

Lanita juga memberi perhatian khusus untuk pembungkus makanan berbahan dasar styrofoam. Seperti plastik, styrofoam mengandung muatan zat racun, terutama stiarin. Oleh sebab itu, hidangan panas yang akan disajikan ke dalam kotak styrofoam sebaiknya didinginkan dahulu dan diberi alas daun, jangan plastik.

Demikian halnya plastik botol minuman mineral. Bahan plastik yang disebut polyethylene terephthalate ini sebaiknya jangan disiram air panas, lantaran mengandung senyawa stiarin. Meski demikian, terangnya, ada bahan-bahan plastik tertentu yang memang tahan panas.

Angka 5 ppm formalin pada plastik dan styrofoam dinilai Lanita cukup tinggi. Sebagai perbandingan, beberapa waktu lalu, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) DKI Jakarta menemukan sejumlah sampel makanan kwe tiaw yang dikategorikan berbahaya. Padahal kwe tiaw ini hanya mengandung 3,1 ppm formalin.

Prof dr Herdiman T Pohan dari Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam FKUI RSCM menegaskan bahwa formalin adalah zat yang amat toksik. Menurut dia, di tempat kerja, batas aman kadar formalin di udara adalah 0,3 ppm. Lebih dari itu, menurutnya, formalin disarankan tak terhirup paru-paru.

''Jika di udara saja batas ambang batasnya sudah amat ketat, apalagi yang masuk ke dalam tubuh manusia,'' tutur Lanita. ''Oleh sebab itu, dengan alasan apa pun, formalin tidak boleh ada pada makanan,'' lanjutnya.

Penelitian Bertazzi PA dan Scand J Work di pabrik-pabrik pembuatan resin (bahan dasar plastik) di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa sepanjang 1959-1980 tercatat 18 orang pekerja pabrik meninggal akibat kanker paru-paru. Mereka adalah bagian dari 1.322 pekerja pabrik yang diteliti sebab-sebab kematiannya.

Padahal, orang yang meninggal akibat kanker paru ini, menurut penelitian tadi, hanya bekerja sedikitnya 30 hari di pabrik tersebut. Bertazzi dan Work ternyata menemukan paparan formalin di udara sekitar pabrik resin tadi di atas 3,0 ppm. Selain 18 orang itu, 14 di antaranya tercatat meninggal akibat kanker alat pencernaan, lima di antaranya akibat hematologic neoplasms.

Dalam penelitiannya, Lanita juga menemukan kandungan formalin pada susu yang biasa dijual dalam kantong-kantong plastik. Namun Lanita tidak menyebutkan secara rinci besaran kandungan formalin dalam minuman itu. Yang jelas, kata dia, formalin tidak berasal dari plastik susu. ''Tapi sengaja ditambahkan ke dalam susu sebagai pengawet,'' terang dia.


Mutasi Sel

Guru Besar Jurusan Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Nurul Akbar, menyebutkan bahwa formalin adalah zat amat berbahaya lantaran dapat memicu mutasi sel pada jaringan tubuh manusia dan binatang. Mutasi sel ini, terang dia, pada gilirannya dapat menyebabkan kanker yang sangat sulit disembuhkan. Oleh sebab itu, Nurul meminta agar masyarakat tidak menganggap enteng formalin.

''Penting dicatat bahwa kanker dapat bermula hanya dari pertumbuhan satu sel yang abnormal saja,'' paparnya. ''Jadi kita tak boleh kompromi. Jangan sampai ada zat yang dapat mengubah pertumbuhan satu sel pun masuk ke dalam tubuh kita,'' ujar Nurul mengingatkan.

Asosiasi Kanker Dunia (IARC) sepakat untuk menggolongkan formalin sebagai zat keras yang potensial memicu kanker, terutama lewat pemaparan kronik (sering dan berulang). Pada manusia, paparan formalin lebih sering memicu kanker hidung dan tenggorokan. Seekor tikus yang diberi formalin dengan dosis tinggi (200 hingga 50 ribu ppm) terbukti mengidap kanker perut.

Herdiman T Pohan mengungkapkan bahwa formalin juga mengandung methanol. Methanol dimetabolisis oleh alkohol menjadi formaldehyde dan dimetabolisis lebih lanjut oleh aldehyde dehydrogenase menjadi asam format. Sebagian besar kandungan asam format formalin, kata dia, mendekam di dalam jaringan tubuh, sehingga menimbulkan efek permanen. Tercatat, hanya tiga persen formalin yang disekresi oleh ginjal, dan melalui saluran pernapasan hanya sebanyak 10-20 persen.

Menurut Frans D Suyatna MD PhD SpFK dari Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, tak ada cara untuk mengukur seberapa besar kandungan formalin yang sudah terakumulasi dalam tubuh seseorang. Ini lantaran senyawa-senyawa dalam formalin langsung mengalami proses metabolisme yang kompleks dalam tubuh, dan larut dalam jaringan. Karena itu, lanjutnya, tak ada terapi khusus untuk membersihkan tubuh dari senyawa racun ini. Satu-satunya cara adalah tindakan preventif untuk menghindari mengonsumsi makanan berformalin.

Antisipasi Makanan Berformalin:
1. Tingkatkan daya tahan tubuh. Jaga kesehatan.
2. Konsumsi makanan atau minuman mengandung antioksidan tinggi sebagai cell-protector.
3. Makan seimbang dan minum air cukup.
4. Tahu direndam semalaman dengan air bersih sebelum dikosumsi. Airnya dibuang.
5. Rebus mi dengan air banyak dan ganti air perebus.
6. Cuci ikan dengan bersih, lalu gosok kulit ikan dan rendam dalam air.

Efek Formalin pada Manusia (lewat udara)
Efek pada konsentrasi Hampir tidak ada: 0-0,5 ppm
Efek pada syaraf (neurophysiological) 0,05-1,5 ppm
Iritasi pada mata 0,01-2,0 ppm
Iritasi tingkat tinggi pada organ luar 0,1-25 ppm
Efek pada paru-paru 5-30 ppm
Radang dan pneumonia 50-100 ppm
Kematian di atas 100 ppm
Sumber: Frans D Suyatna, MD, PhD, SpFK

Kandungan Formalin pada Makanan di Jakarta
Ikan asin 5,86-40,18 ppm
Tahu 3,12-107,36 ppm
Mi basah 168,37-413,84 ppm
Mi keriting 50,36 ppm
Mi ayam super 4.06-10 ppm
Kwe tiaw 3,1 ppm
Sumber: BBPOM Jakarta, 2005
(imy )

0 Comments:

Post a Comment

<< Home