Tuesday, January 24, 2006

Awas Formalin di Plastik Makanan

Jumat, 20 Januari 2006

Mengapa makanan yang masih panas tak boleh dimasukkan ke dalam plastik atau kotak styrofoam?

Pernah memesan minuman teh panas dalam gelas styrofoam? Hati-hati. Pernah juga memesan mi bakso yang masih panas lalu dibungkus dengan plastik transparan? Hati-hati. Pun pernah memesan makanan gorengan yang masih panas dibungkus dengan plastik hitam? Hati-hati.

Karena, formalin ternyata bukan hanya ditemukan pada ikan, mi, baso, atau tahu. Dosen teknologi pangan dari Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan, Lanita Msc MEd, mengungkapkan bahwa zat pengawet mayat itu juga ditemukan pada plastik pembungkus makanan dan styrofoam.

Berdasarkan penelitian, ujar Lanita, dalam acara diskusi Bahaya Formalin bagi Kesehatan yang digelar Pengurus Besar Persatuan Ali Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) pada 12 Januari lalu, pembungkus berbahan dasar resin atau plastik rata-rata mengandung 5 ppm formalin. Satu ppm adalah setara dengan satu miligram per kilogram. Formalin pada plastik atau styrofoam ini, lanjutnya, merupakan senyawa-senyawa yang secara inheren terkandung dalam bahan dasar resin atau plastik.

Namun, kata dia, zat racun tersebut baru akan luruh ke dalam makanan akibat kondisi panas, seperti saat terkena air atau minyak panas. Karenanya, menurut Lanita, makanan yang masih panas jangan langsung dimasukkan ke dalam plastik atau kotak styrofoam. Bersama formalin, luruh pula zat yang tak kalah racunnya yakni stiarin, yang biasa terkandung pada plastik.

Secara umum, zat racun seperti formalin dan stiarin terdapat dalam produk berbahan dasar resin. Namun, dalam kadar cukup tinggi, senyawa-senyawa ini terkandung dalam produk plastik berkualitas rendah seperti, plastik PVC. Contoh sederhana plastik dengan kadar senyawa racun tinggi adalah kantung plastik warna hitam yang biasa digunakan toko-toko untuk mengantongi barang belian. Ia menyarankan agar kantong plastik ini tidak disatukan dengan makanan, apalagi yang masih panas, seperti goreng-gorengan.

Lanita juga memberi perhatian khusus untuk pembungkus makanan berbahan dasar styrofoam. Seperti plastik, styrofoam mengandung muatan zat racun, terutama stiarin. Oleh sebab itu, hidangan panas yang akan disajikan ke dalam kotak styrofoam sebaiknya didinginkan dahulu dan diberi alas daun, jangan plastik.

Demikian halnya plastik botol minuman mineral. Bahan plastik yang disebut polyethylene terephthalate ini sebaiknya jangan disiram air panas, lantaran mengandung senyawa stiarin. Meski demikian, terangnya, ada bahan-bahan plastik tertentu yang memang tahan panas.

Angka 5 ppm formalin pada plastik dan styrofoam dinilai Lanita cukup tinggi. Sebagai perbandingan, beberapa waktu lalu, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) DKI Jakarta menemukan sejumlah sampel makanan kwe tiaw yang dikategorikan berbahaya. Padahal kwe tiaw ini hanya mengandung 3,1 ppm formalin.

Prof dr Herdiman T Pohan dari Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam FKUI RSCM menegaskan bahwa formalin adalah zat yang amat toksik. Menurut dia, di tempat kerja, batas aman kadar formalin di udara adalah 0,3 ppm. Lebih dari itu, menurutnya, formalin disarankan tak terhirup paru-paru.

''Jika di udara saja batas ambang batasnya sudah amat ketat, apalagi yang masuk ke dalam tubuh manusia,'' tutur Lanita. ''Oleh sebab itu, dengan alasan apa pun, formalin tidak boleh ada pada makanan,'' lanjutnya.

Penelitian Bertazzi PA dan Scand J Work di pabrik-pabrik pembuatan resin (bahan dasar plastik) di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa sepanjang 1959-1980 tercatat 18 orang pekerja pabrik meninggal akibat kanker paru-paru. Mereka adalah bagian dari 1.322 pekerja pabrik yang diteliti sebab-sebab kematiannya.

Padahal, orang yang meninggal akibat kanker paru ini, menurut penelitian tadi, hanya bekerja sedikitnya 30 hari di pabrik tersebut. Bertazzi dan Work ternyata menemukan paparan formalin di udara sekitar pabrik resin tadi di atas 3,0 ppm. Selain 18 orang itu, 14 di antaranya tercatat meninggal akibat kanker alat pencernaan, lima di antaranya akibat hematologic neoplasms.

Dalam penelitiannya, Lanita juga menemukan kandungan formalin pada susu yang biasa dijual dalam kantong-kantong plastik. Namun Lanita tidak menyebutkan secara rinci besaran kandungan formalin dalam minuman itu. Yang jelas, kata dia, formalin tidak berasal dari plastik susu. ''Tapi sengaja ditambahkan ke dalam susu sebagai pengawet,'' terang dia.


Mutasi Sel

Guru Besar Jurusan Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Nurul Akbar, menyebutkan bahwa formalin adalah zat amat berbahaya lantaran dapat memicu mutasi sel pada jaringan tubuh manusia dan binatang. Mutasi sel ini, terang dia, pada gilirannya dapat menyebabkan kanker yang sangat sulit disembuhkan. Oleh sebab itu, Nurul meminta agar masyarakat tidak menganggap enteng formalin.

''Penting dicatat bahwa kanker dapat bermula hanya dari pertumbuhan satu sel yang abnormal saja,'' paparnya. ''Jadi kita tak boleh kompromi. Jangan sampai ada zat yang dapat mengubah pertumbuhan satu sel pun masuk ke dalam tubuh kita,'' ujar Nurul mengingatkan.

Asosiasi Kanker Dunia (IARC) sepakat untuk menggolongkan formalin sebagai zat keras yang potensial memicu kanker, terutama lewat pemaparan kronik (sering dan berulang). Pada manusia, paparan formalin lebih sering memicu kanker hidung dan tenggorokan. Seekor tikus yang diberi formalin dengan dosis tinggi (200 hingga 50 ribu ppm) terbukti mengidap kanker perut.

Herdiman T Pohan mengungkapkan bahwa formalin juga mengandung methanol. Methanol dimetabolisis oleh alkohol menjadi formaldehyde dan dimetabolisis lebih lanjut oleh aldehyde dehydrogenase menjadi asam format. Sebagian besar kandungan asam format formalin, kata dia, mendekam di dalam jaringan tubuh, sehingga menimbulkan efek permanen. Tercatat, hanya tiga persen formalin yang disekresi oleh ginjal, dan melalui saluran pernapasan hanya sebanyak 10-20 persen.

Menurut Frans D Suyatna MD PhD SpFK dari Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, tak ada cara untuk mengukur seberapa besar kandungan formalin yang sudah terakumulasi dalam tubuh seseorang. Ini lantaran senyawa-senyawa dalam formalin langsung mengalami proses metabolisme yang kompleks dalam tubuh, dan larut dalam jaringan. Karena itu, lanjutnya, tak ada terapi khusus untuk membersihkan tubuh dari senyawa racun ini. Satu-satunya cara adalah tindakan preventif untuk menghindari mengonsumsi makanan berformalin.

Antisipasi Makanan Berformalin:
1. Tingkatkan daya tahan tubuh. Jaga kesehatan.
2. Konsumsi makanan atau minuman mengandung antioksidan tinggi sebagai cell-protector.
3. Makan seimbang dan minum air cukup.
4. Tahu direndam semalaman dengan air bersih sebelum dikosumsi. Airnya dibuang.
5. Rebus mi dengan air banyak dan ganti air perebus.
6. Cuci ikan dengan bersih, lalu gosok kulit ikan dan rendam dalam air.

Efek Formalin pada Manusia (lewat udara)
Efek pada konsentrasi Hampir tidak ada: 0-0,5 ppm
Efek pada syaraf (neurophysiological) 0,05-1,5 ppm
Iritasi pada mata 0,01-2,0 ppm
Iritasi tingkat tinggi pada organ luar 0,1-25 ppm
Efek pada paru-paru 5-30 ppm
Radang dan pneumonia 50-100 ppm
Kematian di atas 100 ppm
Sumber: Frans D Suyatna, MD, PhD, SpFK

Kandungan Formalin pada Makanan di Jakarta
Ikan asin 5,86-40,18 ppm
Tahu 3,12-107,36 ppm
Mi basah 168,37-413,84 ppm
Mi keriting 50,36 ppm
Mi ayam super 4.06-10 ppm
Kwe tiaw 3,1 ppm
Sumber: BBPOM Jakarta, 2005
(imy )

Jangan Buang Sampah ke Luar Rumah

Selasa, 24 Januari 2006 14:16:00

''Sampahku bukan urusanku.'' Tahun depan, tak seorang pun bisa berseloroh demikian. Paling tidak di DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberlakukan aturan keras soal sampah. ''Tak boleh ada sampah yang keluar rumah,'' kata Sri Bebassari, koordinator Asosiasi Sampah Indonesia (API), akhir pekan lalu.

Aturan ini memangkas jalur antara rumah tangga dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kelak, sampah harus diolah sendiri oleh yang empunya rumah. Sampah organik diolah menjadi kompos. Sementara sampah plastik dipilah-pilah lalu dicacah, lalu dijual. Maklum, 60-70 persen sampah di TPA ternyata berasal dari rumah tangga. Sementara TPA yang tersedia sudah overloaded.

Menurut Sri, ini adalah upaya sistematis untuk melahirkan paradigma baru di masyarakat, yakni, ''Sampahku tanggung jawabku.'' Mungkinkah terwujud? Sejumlah kota di dunia telah membuktikannya. Kota-kota tebersih di dunia, Vancouver, Kawasaki, Singapura, semula juga melibatkan partisipasi warganya dalam memerangi sampah.

Pada tahap awal, insentif bagi warga amatlah penting. Di Curitiba, Brasil, pemerintah setempat menerapkan aturan kreatif. Setiap kantong sampah yang dikumpulkan, dapat ditukar dengan susu, telor, atau tiket bus. Strategi rewards seperti inilah yang mendasari Bank Dunia memulai proyek kompos di Jakarta. Dana 10 juta dolar digelontorkan. Targetnya menghasilkan target 60 ribu ton kompos pada tahap pertama. `'Setiap ton kompos dari warga dihargai Rp 300 ribu,'' ungkap Sri Bebassari.

Terabaikan
Sebanyak 2-3 liter sampah dilahirkan setiap penduduk di perkotaan di Indonesia saban harinya. Produksinya diperkirakan bakal meningkat menjadi tujuh liter sampah per kapita dalam 10 tahun ke depan. Jadi, ada sekitar 500 ribu ton sampah nantinya harus diurus setiap hari. Sayangnya hingga saat ini belum satu pun kota yang memiliki master plan pengelolaan sampah komprehensif dan TPA yang representatif.

''Sejatinya, pengelolaan sampah memang belum dianggap prioritas di negeri ini, jika tidak bisa dikatakan terabaikan,'' tutur Sri Bebassari, di sela-sela acara field workshop tentang sampah yang digelar Yayasan Bina Pembangunan dan Kementerian Lingkungan Hidup, 18-19 Januari lalu.

Dari aspek legal, kata dia, RUU sampah hingga kini masih berstatus draf akademis dan sudah terkatung-katung selama tiga tahun. Sementara dari aspek institusional, lanjutnya, belum ada institusi tinggi di negeri ini yang bertanggung jawab mengurus sampah.

Di Jepang, 16 menteri malah langsung terlibat mengurusi sampah. Di Singapura persoalan sampah juga ditangani menteri dibantu perusahaan swasta bonafid. ''Di sini, persoalan sampah ditangani oleh tingkat dinas kebersihan. Mereka harus mendesain program sekaligus bertindak sebagai operator. Jelas kedodoran,'' paparnya.

Di Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan, lingkungan asri dapat diciptakan lewat advokasi intensif. Mimpi kota bersih telah terwujud di kampung ini. Inilah salah satu daerah terasri di Jakarta, yang memperoleh penghargaan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Banjarsari semula adalah kawasan kumuh, namun berhasil bersolek diri secara radikal.

Adalah Harini Bambang Wahono (73 tahun), sang pelopor `revolusi hijau' di Banjarsari. Harini mencetuskan empat resep cepat untuk berurusan dengan sampah: reduce, reuse, recycle, dan replant. Warga Kampung Banjarsari telah menerapkan resep ini, dan terbukti berhasil menyulap lingkungan jadi bersih. Pembuatan kompos di rumah tangga bahkan sudah menjadi budaya.

Menurut Harini, resep itu bisa dilakukan siapa pun. `'Namun, tetap saja kuncinya adalah action,'' tutur dia. Akar persoalan sampah di Indonesia, menurut Sri Bebassari, adalah political will.

Tong Sampah Pajangan

Ingin tahu seberapa maju sebuah negara? Tengoklah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampahnya. Itulah yang diyakini dan dilakoni Ir Sri Bebassari Msi, koordinator Asosiasi Persampahan Indonesia (API), sepanjang 25 tahun ke belakang. Tak terkecuali, TPA negara di mapan seperti Prancis, Amerika Serikat, atau Jepang pun, masuk ke daftar kunjungannya.

Tapi soal Indonesia, Sri agaknya punya catatan tersendiri. ''Indonesia sudah mampu mendirikan pabrik pesawat terbang, tapi anehnya, mengurus sampah tidak pernah becus,'' tutur mantan peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu.

Sri menengarai, nyaris seluruh TPA di Indonesia tidak layak operasi. Tragedi longsor TPA Leuwigajah, Bandung, awal 2005 lalu adalah bukti nestapa pengelolaan sampah di negeri ini. Naasnya, upaya pengelolaan sampah secara mutakhir pun gagal terwujud. Di Bojong, Kabupaten Bogor, rencana pendirian Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) dihalau warga. ''Riset API menunjukkan Indonesia sudah ketinggalan 20 tahun dalam manajemen pengelolaan sampah,'' kata Sri.

Kota-kota di Indonesia belum jera menerapkan manajemen pengelolaan sampah berbasis TPA. Ini adalah metode kuno. Sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke TPA. Padahal hampir seluruh 400 TPA yang ada di Indonesia diduga menerapkan teknologi pembuangan yang tak terstandardisasi. Pelanggaran fatal yang lazim dilakukan adalah pembuangan sampah di tanah terbuka (open dumping), yang memicu kehancuran ekologis.

Tim Bangun Praja Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sepanjang 2004-2005 merekam compang-campingnya operasi TPA-TPA di Indonesia. Drainase air kebanyakan dalam kondisi buruk. Gas metana (CH4) bocor, mencemari udara sekitar. Saluran pipa gas tidak ada, membuat potensi ledakan di TPA. Sementara limpahan air lindi (leachate) meluber langsung ke rumah penduduk.

Distribusi sampah pun acapkali macet, memicu bom waktu terciptanya gunung sampah. ''Setiap hari, 200 ton sampah tak terangkut ke TPA Bantar Gebang,'' tutur Sutarso Sarbini, direktur PT Wira Gulfindo Sarana, perusahaan yang menangani Stasiun Pengelolaan Antara (SPA) Cilincing, Jakarta Pusat. SPA Cilincing adalah tempat transit ratusan ton sampah DKI Jakarta sebelum berpindah tangan ke Bantar Gebang, Bekasi.

Total 10 ribu ton sampah menggunung di SPA seluas empat hektare itu. Jumlahnya tak pernah surut, sebaliknya terus membengkak. Sampah tak terangkut terpaksa dibakar, meski harus menebar asap pekat.

Negara-negara maju sedapat mungkin mengganti pengelolaan sampah berbasis TPA ini dengan penerapan sistem terpadu. Metode ini mengombinasikan teknologi daur ulang, pengomposan, dan pembakaran terbatas. Lewat cara inovatif itu, volume sampah dapat direduksi hingga 90 persen. Jadi, cuma 10 persen saja yang ditumpahkan ke TPA. Itu pun hasil sisa pembakaran saja.

Pemisahan (selection) adalah langkah pertama dalam sistem pengolahan sampah terpadu. Pernah lihat tong sampah yang diberi label sampah plastik, sampah organik, atau sampah makanan? Itulah cara dini melakukan proses pemilahan. Tong sampah seperti ini lazim ditemui di trotoar-trotoar di luar negeri. Di Jakarta, ada pula tong sampah ini, tapi hanya jadi pajangan.

Di Kairo, Mesir, misalnya, sebanyak 85 persen sampah tak lagi bertumpuk di TPA, namun didaur ulang. Sebuah lembaga swasta profesional, Zabaleen, dilibatkan dan berhasil menyulap timbunan sampah dari 20 juta penduduk menjadi produk bernilai ekonomis.

Akankah Indonesia bersikukuh dengan jalan kuno mengurus sampah: TPA-based management? Unesco mencatat pada 2010, sebanyak 51 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Ini menyebabkan produksi sampah bakal berlipat-lipat. Sementara TPA yang ada sudah overloaded.
( imy )

Thursday, January 19, 2006

Kepak Sayap Lebah

Sabtu, 14 Januari 2006

Bagaimana pula lebah bisa mengangkut nektar yang beratnya kadang menyamai berat tubuhnya?

Selama ratusan tahun, lebah menjadi misteri. Tak seorang pun, bahkan saintis paling kaliber, mampu menjelaskan fenomena kepakan sayap lebah. Maka serangga kecil ini pun segera menjadi simbol kegagalan ilmu pengetahuan dalam mengungkap alam semesta.

Para penyokong intelligent design menjadikan lebah sebagai alat kritik mereka terhadap sains. ''Sains yang agung itu bahkan tak dapat menjelaskan semata kepak sayap lebah,'' kata penganut aliran itu. ''Sains tak pernah mampu berkutik di hadapan sebuah fenomena,''.

Intelligent design adalah aliran yang mempercayai bahwa kompleksitas alam semesta tidak tercipta akibat proses evolusi alamiah, melainkan interverensi sebuah kekuatan besar (Supreme Being). Karena itu mereka percaya sains bersifat inkonsisten dan terbatas. Menurut mereka, fenomena kepak sayap lebah adalah bukti nyata kelemahan fundamental sains.

Tapi anggapan itu kini tampak mulai keliru. Awal pekan ini, para peneliti dari California Institute of Technology, Amerika Serikat (AS), mengumumkan bahwa mereka berhasil membongkar fenomena kepak sayap lebah. Douglas Altshuler, salah seorang anggota tim peneliti, secara 'provokatif' melukiskan bahwa kepakan sayap lebah ternyata jauh lebih eksotis dari yang diperkirakan.

''Serangga kecil ini memiliki kepakan sayap yang amat luar biasa cepat dalam jumlah yang amat mencengangkan,'' tuturnya. Bayangkan, kata Altshuler, setiap satu detiknya seekor lebah dapat mengepak hingga 230 kali! ''Tidak ada yang mengira sebelumnya,'' lanjut dia.

Temuan ini, kata Altshuler, sekaligus meneguhkan teori lama yang menyebutkan bahwa semakin kecil seekor serangga maka semakin banyak kepakan sayapnya. Asumsi ini didasarkan atas pemahaman bahwa semakin kecil seekor serangga semakin kecil pula performa aerodinamisnya. Guna mengimbangi menurunnya performa aerodinamis, sang serangga, menurut teori tadi, harus melipatgandakan jumlah kepakan sayap agar tetap stabil.

Bagaimana para ilmuwan Caltech ini menguak rahasia kepak sayap lebah? Jawabnya, kejelian dalam memanfaatkan aplikasi teknologi tingkat tinggi. Adalah kombinasi foto digital dan model robotik yang memungkinkan para saintis mampu mengurai mekanisme terbang lebah, hingga pada gilirannya menghitung jumlah kepak sayap lebah per detik.

''Selama bertahun-tahun, para saintis mencoba memahami mekanisme terbang hewan dengan menelaah karakteristik aerodinamis pada pesawat terbang atau helikopter dan menerapkannya dalam eksperimen mereka. Sayangnya, metode ini gagal memberi jawaban yang memuaskan,'' kata Altshuler.

Namun, lanjut Altshuler, dalam sepuluh tahun terakhir para ahli biologi mengubah cara bereksperimen mereka. Mereka mulai menggunakan pendekatan model robotik. Para ahli, terangnya, menciptakan robot mini yang memiliki kemampuan meniru gerakan sayap serangga, bahkan dengan kecepatan amat tinggi, guna menganalisis karakter aerodinamis kepak sayap lebah. Mereka juga melakukan analisis gerakan lewat image digital.

Secara sederhana, pertama-tama para saintis di Caltech ini memfoto gerakan sayap serangga itu selama berjam-jam. Hasil jepretan kamera digital tadi lantas dijadikan acuan untuk proses imitasi gerakan, yang dilakukan oleh model robotik bersensor. Tujuan imitasi adalah untuk mengukur kekuatan riil kepak sayap dan karakter gerakannya. Berbasiskan data-data ini dapat diungkap sejumlah fakta penting, termasuk berapa kali lebah mengepakkan sayap setiap detiknya.




Inspirasi Model Baru Pesawat Kargo

Riset robotik ini, lebih jauh, berhasil mengungkap fakta-fakta lain soal lebah. Salah satunya adalah mengungkap kemampuan luar biasa serangga kecil ini dalam mengangkut nektar dan madu. Bayangkan, kata Altshuler, sementara mereka melayang di udara, para lebah ini juga harus mengangkut kargo di tubuhnya. Padahal berat nektar yang ditopang seringkali sama dengan berat keseluruhan tubuhnya. Bagaimana lebah melakukan itu?

Untuk memahami pola survival lebah, para peneliti bereksperimen dengan memasukkan sekawanan lebah pada ruang tertutup. Ruangan itu lalu diisi campuran oksigen dan helium yang mendorong terciptanya kondisi luar biasa. Dalam kondisi abnormal itu tampak bahwa kawanan serangga ini bekerja jauh lebih keras, yakni dengan meningkatkan amplitudo kepakan sayap tanpa mengurangi frekwensinya.

"Mereka bekerja seperti mobil balap,'' tutur Altshuler. `'Mobil balap mampu melipatgandakan revolusinya per menit, namun gagal melaju lebih cepat dalam gir besar. Seperti lebah, mereka tidak efisien,'' lanjut Altshuler.

Riset ini paling tidak berhasil mengungkap model kompensasi lebah dalam kondisi luar biasa. Tapi hebatnya, berbasiskan temuan-temuan ini, para peneliti di Caltech malah memperoleh inspirasi untuk menciptakan temuan spektakuler baru. Yakni, desain pesawat terbang yang mampu bergerak ke berbagai medan kendati mengangkut beban yang setara dengan massa tubuhnya.

Desain pesawat ini kelak mengadopsi sifat aerodinamis lebah. Lewat kepakan sayapnya, serangga kecil membuktikan bahwa massa yang besar, performa aerodinamis yang menurun, serta kondisi udara yang luar biasa tidak menjadi hambatan untuk bergerak lincah di udara. Pesawat ini nantinya akan sangat bermanfaat sebagai alat pengangkut dan transportasi dalam kondisi bencana, seperti tsunami.
( imy/livescience )

Membangun Ecocity

Rabu, 18 Januari 2006

Warga miskin diminta mengumpulkan sampah untuk ditukar dengan iket bus.

Belajarlah dari Curitiba. Tercatat sebagai salah satu kota terkumuh dan termacet di Brasil pada dasawarsa 1970-an, Curitiba mampu bersolek diri secara radikal. Kota itu kini menjadi kawasan paling apik di Negeri Samba. Bahkan, pada 1996, Curitiba dianugerahi predikat the most innovative city in the world. Banyak pemerintah kota di berbagai dunia melirik Curitiba.

''Jakarta barangkali bisa meniru Curitiba,'' tutur Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Dr Ir Hermanto Dardak, dalam seminar penataan ruang berbasis aspek ekologis di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Selasa (17/1).

Pada 1970-an Curitiba --terletak di sebelah tenggara Brasil, sekitar 1.081 km dari ibu kota Brasil, Brasilia-- merupakan kawasan langganan macet dan banjir. Curitiba juga terancam ledakan penduduk, seperti kebanyakan kota di Amerika Latin saat itu. Namun sebuah revolusi tata kota, Curitiba Master Plan, yang dicetuskan arsitek Universitas Federal Parana, Jaime Lerner, mengubah secara fundamental ibu kota negara bagian Parana, Brasil, itu. Proyeknya dimulai ketika Curitiba masih berpenduduk 360 ribu jiwa.

Hermanto menilai perombakan fundamental yang dilakukan Curitiba pertama-tama adalah mengubah desain tata kotanya dari semula terpusat menjadi linear. Jantung kota --gedung-gedung komersial, pemerintahan, pendidikan atau bisnis-- diletakkan dalam satu situs, sementara tempat tinggal penduduk dibuat mengitari.

Perubahan fundamental ini mendorong perubahan radikal pada sistem transportasi. Pemerintah mesti membangun jalan-jalan penghubung dari tempat tinggal penduduk langsung menuju pusat kota. Busway adalah alat transportasi utama. Selain itu, jalur khusus untuk sepeda sepanjang 150 kilometer pun didirikan.

Transportasi yang menyenangkan memang menjadi keunggulan kota yang kini berpenduduk 1.710.000 jiwa (data 2003). Dalam urusan transportasi, Curitiba menerapkan trinary road system. Ini adalah model jalanan yang menggunakan dua jalur jalan besar yang berlawanan arah. Namun, yang istimewa, ada dua jalur sekunder di tengah yang dimanfaatkan sebagai jalur ekslusif untuk busway. Hampir semua jalanan di Curitiba menerapkan sistem ini.

Terdapat 12 terminal penumpang di Curitiba, yang tersebar di seluruh penjuru mata angin. Terminal-terminal ini memberi kemudahan, yakni memungkinkan penumpang dapat meninggalkan dan berganti bus tanpa harus membeli tiket baru.

Untuk menurunkan minat warga menggunakan mobil, selain menurunkan angka kecelakaan, pemerintah kota Curitiba juga menempatkan 200 radar lalu lintas di seluruh penjuru jalanan utama. Teknologi berbasis sensor ini dipasang di trotoar yang diperlengkapi kamera digital. Fungsinya untuk mendeteksi setiap mobil yang melaju di atas speed limit. Instrumen akan merekam nomor mobil nakal ini, termasuk data waktu dan tempat kejadian, lalu mengirimnya ke tempat tinggal sang pengemudi dalam bentuk speeding ticket. Mereka diharuskan membayar denda.

Sistem ini mampu mengirim tiket ke seluruh Brasil. Adapun speed limit yang ditetapkan terhitung 'keterlaluan', yakni 60 kilometer per jam, bahkan ada pula yang 40 kilometer per jam di lokasi padat pejalan kaki. Secara bersamaan, para pejalan kaki dimanjakan dengan trotoar luas yang dibangun di sisi-sisi jalan.

Banjir
Patut dicatat pula komitmen serius Curitiba dalam menangkal banjir. Seolah tak ingin air bah berulang, Curitiba melipatgandakan jumlah ruang terbuka hijau (RTH)-nya. Dari semula satu meter persegi per kapita RTH pada 1970 menjadi 55 meter persegi per kapita pada 2002.

Jumlah ini sudah melebihi 30 persen dari luas kota. Bandingkan dengan Jakarta yang areal RTH-nya cuma sembilan persen. Padahal, agar terhindar dari banjir, minimal RTH adalah 30 persen luas kota. Banyak kota di Indonesia, seiring pembangunan gedung komersial, areal RTH-nya menurun secara drastis dan tak lagi proporsional .

Berbeda dengan tren di Indonesia, Curitiba menempuh segala cara untuk memperbanyak RTH. Bekas tempat pembuangan akhir (TPA) disulap menjadi taman-taman yang lebat dan asri. Danau-danau artifisial dibangun di tengah kota. Sementara RTH dilipatgandakan, bangunan komersial terus dibangun. Keduanya tidak saling mengganggu.

Kawasan kumuh
Keberhasilan lain Curitiba adalah memupuskan secara radikal jumlah kawasan kumuh. Pemerintah menerapkan strategi insentif yang cerdas untuk merelokasi permukiman kumuh tadi, bukan sekadar menggusurnya. Misalnya, kata Hermanto, para pengembang perumahan hanya akan diberi izin membangun jika bersedia membuat sebuah permukiman khusus untuk para pemukim kumuh.

Konsep pembangunan partisipatif. Inilah kunci sukses Curitiba, yang terletak di dataran tinggi sekitar 3.120 kaki dari atas permukaan laut. Jaime Lerner, sang arsitek Curitiba, dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa pembangunan harus melibatkan dan memperoleh dukungan warga. Warga ditempatkan sebagai subjek, bukan objek. ''Setiap orang harus memberi kontribusi dan sinergi,'' kata Lerner.

Untuk menjamin kota tetap bersih, misalnya, para warga --biasanya warga miskin-- diminta mengumpulkan satu kantong plastik sampah yang dapat ditukar dengan susu, telor, atau tiket bus. Strategi tata kota ini berpengaruh terhadap produktivitas penduduk. Jika pada 1970-an warga Curitiba berpenghasilan di bawah rata-rata penduduk Brasil, kini penghasilan mereka dua kali lipat pendapatan per kapita nasional. Kini, penduduk --terutama warga miskin-- sudah memperoleh fasilitas kesehatan gratis. Curitiba kini dijuluki sebagai kota yang memperhatikan ekologi. Ecocity.




Menjaga Ekologi Kota

Tak keliru Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menyatakan bahwa pada 2014 jalanan di Jakarta akan macet total. Kecenderungan serupa sebetulnya bukan hanya akan menimpa Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia.

Direktur Unesco untuk Indonesia, Han Qui, Selasa (17/1), menyatakan bahwa pada 2010 sebanyak 51 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Ini akan memicu permasalahan sosial yang kompleks, salah satunya kemacetan. Namun kemacetan terhitung persoalan ringan ketimbang gangguan keseimbangan ekologis akibat membludaknya penduduk.

Deputi Bidang Teknologi Informatika, Energi, Material, dan Lingkungan BPPT, Marzan Aziz Iskandar, menyatakan peristiwa banjir atau tanah longsor merupakan contoh nyata dari kebijakan penanganan wilayah yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Pada kurun 1990-2000 Batam mengonversi 67,9 persen hutan dan 44,4 persen mangrove untuk kawasan permukiman, industri, dan komersial. Pada kurun yang sama, Malang mengonversi 33,5 persen hutan untuk kawasan permukiman dan komersial.

Menurutnya, produk tata ruang di Indonesia saat ini lebih berorientasi pada pembangunan fisik untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya, kebutuhan ruang untuk berlangsungnya fungsi ekologis kurang terakomodasi. ''Padahal keberlanjutan suatu wilayah harus didukung oleh keberlanjutan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologis secara seimbang,'' paparnya.

Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Dr Ir Hermanto Dardak, menyatakan perlu political will dari pemerintah setempat untuk membangun sebuah kota yang berkelanjutan. ''Contoh ekstrem adalah di Curitiba, Brasil. Di kota itu malah ada sebuah badan independen yang mengatur tata kelola kota dan lingkungan. Bahkan seorang wali kota tak boleh mengintervrensi,'' terangnya.

Stephen Leahy, seorang pengamat lingkungan dan pertanian, dalam artikelnya di situs sustainabletimes, menyatakan bahwa setiap kota, kaya atau muskin, dapat memberdayakan warganya untuk mengatasi persoalan lingkungan. ''Namun hal pertama yang tak mudah dilakukan adalah memunculkan motivasi untuk mengubah diri. Curitiba mampu mewujudkan dan menikmatinya sepanjang 25 tahun terakhir ini lewat sebuah political will dan kepemimpinan yang kuat,'' tulis Leahy.
(imy )

Pembangunan Punclut Ancam Kota Bandung

Senin, 17 Januari 2005

Bandung-RoL--Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menilai, pembangunan kawasan Punclut bisa menimbulkan bencana bagi Kota Bandung dan sekitarnya. Pasalnya, kawasan Punclut sebagai koridor yang menghubungkan Lembang dan Kota Bandung, secara ekologi sangat penting.

Demikian dikatakan Ketua DPKLTS Jabar, Prof Mubiar Purwasasmita kepada para wartawan, Senin (17/1). Menurut dia, jika pembangunan di kawasan konservasi itu tetap dilanjutkan, maka bisa menyebabkan terjadinya bencana geologi, gempa bumi, bencana iklim, dan bencana lingkungan.

Selain itu, lanjut Mubiar, konsep pembangunan di kawasan Punclut dengan mengacu 80 persen untuk daerah konservasi dan 20 persen untuk kawasan budidaya, juga tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.''Seharusnya pemerintah Kota Bandung dan Pemprov Jabar belajar dari bencana yang terjadi di Aceh,''katanya.

Kondisi geologi di Jabar, sambung Mubiar, rentan terhadap bencana alam. Karena itu, daerah konservasi harus benar-benar dijaga dan dipertahankan. Kalau dibiarkan, cetus dia, semua potensi bencana alam akan terjadi. Dampaknya, tidak akan jauh dari Aceh. ''Daerah konservasi yang dimiliki Jabar harus benar-benar dijaga,''imbuhnya.

Mubiar mengatakan, kawasan lindung merupakan jaminan penting bagi Jabar untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam. Karena, kata dia, kalau tidak memperhatikan antisipasi tersebut, bisa menimbulkan dampak lingkungan yang sangat berbahaya. ''Saat ini tata ruang yang dibuat dalam konsep Bandung Metropolitan (BM) masih dibuat, namun pemkot sudah memanfaatkannya,''tuturnya.
(Arie Luki Hardianti dan Reiny)