Tuesday, January 24, 2006

Jangan Buang Sampah ke Luar Rumah

Selasa, 24 Januari 2006 14:16:00

''Sampahku bukan urusanku.'' Tahun depan, tak seorang pun bisa berseloroh demikian. Paling tidak di DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberlakukan aturan keras soal sampah. ''Tak boleh ada sampah yang keluar rumah,'' kata Sri Bebassari, koordinator Asosiasi Sampah Indonesia (API), akhir pekan lalu.

Aturan ini memangkas jalur antara rumah tangga dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kelak, sampah harus diolah sendiri oleh yang empunya rumah. Sampah organik diolah menjadi kompos. Sementara sampah plastik dipilah-pilah lalu dicacah, lalu dijual. Maklum, 60-70 persen sampah di TPA ternyata berasal dari rumah tangga. Sementara TPA yang tersedia sudah overloaded.

Menurut Sri, ini adalah upaya sistematis untuk melahirkan paradigma baru di masyarakat, yakni, ''Sampahku tanggung jawabku.'' Mungkinkah terwujud? Sejumlah kota di dunia telah membuktikannya. Kota-kota tebersih di dunia, Vancouver, Kawasaki, Singapura, semula juga melibatkan partisipasi warganya dalam memerangi sampah.

Pada tahap awal, insentif bagi warga amatlah penting. Di Curitiba, Brasil, pemerintah setempat menerapkan aturan kreatif. Setiap kantong sampah yang dikumpulkan, dapat ditukar dengan susu, telor, atau tiket bus. Strategi rewards seperti inilah yang mendasari Bank Dunia memulai proyek kompos di Jakarta. Dana 10 juta dolar digelontorkan. Targetnya menghasilkan target 60 ribu ton kompos pada tahap pertama. `'Setiap ton kompos dari warga dihargai Rp 300 ribu,'' ungkap Sri Bebassari.

Terabaikan
Sebanyak 2-3 liter sampah dilahirkan setiap penduduk di perkotaan di Indonesia saban harinya. Produksinya diperkirakan bakal meningkat menjadi tujuh liter sampah per kapita dalam 10 tahun ke depan. Jadi, ada sekitar 500 ribu ton sampah nantinya harus diurus setiap hari. Sayangnya hingga saat ini belum satu pun kota yang memiliki master plan pengelolaan sampah komprehensif dan TPA yang representatif.

''Sejatinya, pengelolaan sampah memang belum dianggap prioritas di negeri ini, jika tidak bisa dikatakan terabaikan,'' tutur Sri Bebassari, di sela-sela acara field workshop tentang sampah yang digelar Yayasan Bina Pembangunan dan Kementerian Lingkungan Hidup, 18-19 Januari lalu.

Dari aspek legal, kata dia, RUU sampah hingga kini masih berstatus draf akademis dan sudah terkatung-katung selama tiga tahun. Sementara dari aspek institusional, lanjutnya, belum ada institusi tinggi di negeri ini yang bertanggung jawab mengurus sampah.

Di Jepang, 16 menteri malah langsung terlibat mengurusi sampah. Di Singapura persoalan sampah juga ditangani menteri dibantu perusahaan swasta bonafid. ''Di sini, persoalan sampah ditangani oleh tingkat dinas kebersihan. Mereka harus mendesain program sekaligus bertindak sebagai operator. Jelas kedodoran,'' paparnya.

Di Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan, lingkungan asri dapat diciptakan lewat advokasi intensif. Mimpi kota bersih telah terwujud di kampung ini. Inilah salah satu daerah terasri di Jakarta, yang memperoleh penghargaan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Banjarsari semula adalah kawasan kumuh, namun berhasil bersolek diri secara radikal.

Adalah Harini Bambang Wahono (73 tahun), sang pelopor `revolusi hijau' di Banjarsari. Harini mencetuskan empat resep cepat untuk berurusan dengan sampah: reduce, reuse, recycle, dan replant. Warga Kampung Banjarsari telah menerapkan resep ini, dan terbukti berhasil menyulap lingkungan jadi bersih. Pembuatan kompos di rumah tangga bahkan sudah menjadi budaya.

Menurut Harini, resep itu bisa dilakukan siapa pun. `'Namun, tetap saja kuncinya adalah action,'' tutur dia. Akar persoalan sampah di Indonesia, menurut Sri Bebassari, adalah political will.

Tong Sampah Pajangan

Ingin tahu seberapa maju sebuah negara? Tengoklah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampahnya. Itulah yang diyakini dan dilakoni Ir Sri Bebassari Msi, koordinator Asosiasi Persampahan Indonesia (API), sepanjang 25 tahun ke belakang. Tak terkecuali, TPA negara di mapan seperti Prancis, Amerika Serikat, atau Jepang pun, masuk ke daftar kunjungannya.

Tapi soal Indonesia, Sri agaknya punya catatan tersendiri. ''Indonesia sudah mampu mendirikan pabrik pesawat terbang, tapi anehnya, mengurus sampah tidak pernah becus,'' tutur mantan peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu.

Sri menengarai, nyaris seluruh TPA di Indonesia tidak layak operasi. Tragedi longsor TPA Leuwigajah, Bandung, awal 2005 lalu adalah bukti nestapa pengelolaan sampah di negeri ini. Naasnya, upaya pengelolaan sampah secara mutakhir pun gagal terwujud. Di Bojong, Kabupaten Bogor, rencana pendirian Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) dihalau warga. ''Riset API menunjukkan Indonesia sudah ketinggalan 20 tahun dalam manajemen pengelolaan sampah,'' kata Sri.

Kota-kota di Indonesia belum jera menerapkan manajemen pengelolaan sampah berbasis TPA. Ini adalah metode kuno. Sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke TPA. Padahal hampir seluruh 400 TPA yang ada di Indonesia diduga menerapkan teknologi pembuangan yang tak terstandardisasi. Pelanggaran fatal yang lazim dilakukan adalah pembuangan sampah di tanah terbuka (open dumping), yang memicu kehancuran ekologis.

Tim Bangun Praja Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sepanjang 2004-2005 merekam compang-campingnya operasi TPA-TPA di Indonesia. Drainase air kebanyakan dalam kondisi buruk. Gas metana (CH4) bocor, mencemari udara sekitar. Saluran pipa gas tidak ada, membuat potensi ledakan di TPA. Sementara limpahan air lindi (leachate) meluber langsung ke rumah penduduk.

Distribusi sampah pun acapkali macet, memicu bom waktu terciptanya gunung sampah. ''Setiap hari, 200 ton sampah tak terangkut ke TPA Bantar Gebang,'' tutur Sutarso Sarbini, direktur PT Wira Gulfindo Sarana, perusahaan yang menangani Stasiun Pengelolaan Antara (SPA) Cilincing, Jakarta Pusat. SPA Cilincing adalah tempat transit ratusan ton sampah DKI Jakarta sebelum berpindah tangan ke Bantar Gebang, Bekasi.

Total 10 ribu ton sampah menggunung di SPA seluas empat hektare itu. Jumlahnya tak pernah surut, sebaliknya terus membengkak. Sampah tak terangkut terpaksa dibakar, meski harus menebar asap pekat.

Negara-negara maju sedapat mungkin mengganti pengelolaan sampah berbasis TPA ini dengan penerapan sistem terpadu. Metode ini mengombinasikan teknologi daur ulang, pengomposan, dan pembakaran terbatas. Lewat cara inovatif itu, volume sampah dapat direduksi hingga 90 persen. Jadi, cuma 10 persen saja yang ditumpahkan ke TPA. Itu pun hasil sisa pembakaran saja.

Pemisahan (selection) adalah langkah pertama dalam sistem pengolahan sampah terpadu. Pernah lihat tong sampah yang diberi label sampah plastik, sampah organik, atau sampah makanan? Itulah cara dini melakukan proses pemilahan. Tong sampah seperti ini lazim ditemui di trotoar-trotoar di luar negeri. Di Jakarta, ada pula tong sampah ini, tapi hanya jadi pajangan.

Di Kairo, Mesir, misalnya, sebanyak 85 persen sampah tak lagi bertumpuk di TPA, namun didaur ulang. Sebuah lembaga swasta profesional, Zabaleen, dilibatkan dan berhasil menyulap timbunan sampah dari 20 juta penduduk menjadi produk bernilai ekonomis.

Akankah Indonesia bersikukuh dengan jalan kuno mengurus sampah: TPA-based management? Unesco mencatat pada 2010, sebanyak 51 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Ini menyebabkan produksi sampah bakal berlipat-lipat. Sementara TPA yang ada sudah overloaded.
( imy )

0 Comments:

Post a Comment

<< Home