Tuesday, February 21, 2006

Sampai Saat Ini Longsoran Sampah Dibiarkan Begitu Saja

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah harus segera melakukan penataan fisik dan lingkungan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Leuwigajah, terlepas apakah TPA itu akan ditutup selamanya atau digunakan lagi.

Sementara itu, karena belum juga mendapat tempat pembuangan akhir (TPA) baru, Pemkot Cimahi memutuskan untuk membuang sebagian sampahnya ke TPA Pasir Impun milik Pemkot Bandung, mulai Jumat (1/4) ini. Pengangkutan sampah akan ditangani pengusaha Istana Grup yang menyatakan kesediaannya membantu Kota Cimahi, Kota. Bandung, dan Kab. Bandung.

Prof. Enri Damanhuri dari Departemen Teknik Lingkungan FTSP ITB pada lokakarya "Mitigasi Ancaman Bencana di TPA Sampah" di Pusat Pendidikan Keahlian Teknik (Pusdiktek) Jln. Abdul Halim Bandung, Kamis (31/3), menyebutkan, "Saat ini, longsoran sampah dibiarkan begitu saja. Hal itu tentunya akan mengakibatkan permasalahan lingkungan sekitar TPA. Lindi (air larutan sampah) yang tidak terkendali akan mencemari air di hilirnya. Belum lagi bau dan lalat."

Menurutnya, dari hasil penelitian kondisi geoteknik dan hidrogeologi disimpulkan, lokasi TPA Leuwigajah terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan agak terjal (lebih dari 30%). Pada musim kemarau dengan dengan curah hujan sedikit, lokasi ini akan menjadi daerah resapan. Namun, pada musim hujan, akan berubah menjadi daerah pengeluaran air yang muncul dalam bentuk mata air musiman.

"Kondisi itu membutuhkan drainase di bawah dasar (under drainage) untuk mengalirkan air agar tidak masuk ke dalam timbunan sampah," kata Enri.

Ditambahkan, hampir semua pemerintah daerah tidak mempunyai alternatif lain bila TPA mereka mengalami gangguan. Bahkan, mereka tidak mempunyai pengalaman dalam menangani sampah secara baik dan berkesinambungan. "Buktinya, dengan tidak berfungsinya TPA Leuwigajah, ketiga daerah sibuk mencari alternatif. Pemkot Bandung mencoba mencari alternatif dengan memanfaatkan TPA yang telah lama ditutup seperti TPA Cicabe dan Pasir impun. Tapi sampai berapa lama?" ujarnya.

Untuk itu, dalam jangka pendek keberadaan TPA akan sangat diperlukan. Mengingat kebutuhan lahan TPA yang sangat besar, TPA Leuwigajah akan tetap menjadi andalan. Namun, ke depan, harus dibentuk sebuah pengelolaan tunggal yang dapat diterima oleh ketiga pemerintah daerah.

Diangkut ke Jelekong

Mengenai rencana pengangkutan sampah dari Cimahi ke TPA Pasir Impun, Wali Kota Cimahi Itoch Tohija menyebutkan, mulai besok (Jumat, 1/4), Istana Grup akan membantu mengangkut 5.000 m3. Selain Cimahi, pengusaha itu juga membantu Kab. Bandung sebanyak 5.000 m3 dan Kota Bandung 10.000 m3," katanya usai menghadiri ekspos salah satu investor dari Kanada yang tertarik mengelola TPA Leuwigajah Cimahi di Balai kota Cimahi, Kamis (31/3).

Karena belum memiliki TPA baru, tumpukan sampah di Kota Cimahi sebagian besar masih tertahan di TPS-TPS. Upaya komposting yang dikembangkan Pemkot Cimahi belum banyak berarti mengurangi jumlah sampah, sebab volume sampah di Kota Cimahi mencapai 1.150 m3/hari. Sebelum musibah longsor saja, sampah yang terangkut hanya 450 m3/hari. Jadi, masih ada 700 m3/hari sampah yang belum terangkut. Pascalongsor, dari 1.150 m3 sampah hanya 70-80 m3 sampah/hari yang bisa dibuang ke TPA Jelekong. Dengan demikian, selama itu pula, sampah masih menumpuk di TPS dan rumah-rumah. (A-115/A-136)***

Pengindraan Jauh dan SIG untuk Mencari Lokasi TPA

SAMPAH menjadi isu fenomenal di Kota Bandung. Sampai ditulisnya artikel ini, bukit-bukit sampah masih bermunculan di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini. Pemandangan kotor disertai bau menyengat menjadi suasana sehari-hari warga kota berjuluk Parijs van Java ini. Ada apa dengan sampah di Kota Bandung? Sepertinya sangat sulit untuk mencari lokasi TPA lain sejak ditutupnya TPA Leuwigajah. Tidak adakah cara yang lebih efektif untuk menentukan lokasi TPA baru di Kota Bandung?

Penentuan lokasi TPA berdasarkan SNI

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 03-3241-1994 yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ialah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah. TPA juga tempat untuk menyingkirkan atau mengarantina sampah kota sehingga aman. Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA (SNI nomor 03-3241-1994 ). TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan tiga tahapan. Pertama, tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.

Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak layak. Dari sisi kondisi geologi, tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona bahaya geologi. Dari sisi kondisi hidrogeologi, tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm / det, jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran, dan dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, maka harus diadakan masukan teknologi.

Kemiringan zona harus kurang dari 20%, jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain, dan tidak boleh pada daerah lindung / cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun.

Kedua, kriteria penyisih, yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria iklim (intensitas hujan yang makin kecil dan arah angin dominan tidak menuju ke permukiman), utilitas (lebih lengkap), lingkungan biologis (habitat kurang variatif dan kurang menunjang kehidupan flora/fauna) , kondisi tanah (tidak produktif, dapat menampung lahan lebih banyak, punya tanah penutup, status tanah bervariasi), demografi (kepadatangan penduduk rendah), kebisingan (banyak zona penyangga), batas administras (di dalam), estetika (tak terlihat dari luar), bau (banyak zona penyangga), dan ekonomi (biaya santunan kecil).

Ketiga, kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.

Di samping kriteria yang disebutkan diatas, terdapat pula kriteria khusus yang ditinjau dari segi geologi. Berdasarkan ketentuan kriteria regional dan penyisih di atas, dicoba untuk mencari lokasi TPA baru di Cekungan Bandung dengan memanfaatkan teknologi pengindraan jauh dan SIG (Sains Informasi Geografis).

Pengindraan jauh dan SIG

Ada beberapa informasi tematik yang diperlukan dalam penentuan lokasi TPA di Cekungan Bandung. Pertama, informasi geologi. Sebagian besar didapat dari peta resiko dan bahaya geologi teknik daerah Cekungan Bandung dan Cianjur dengan skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Peta ini menggambarkan daerah banjir, daerah resiko aliran lahar, daerah risiko gerakan tanah, dan daerah dengan fondasi tanah buruk. Keberadaan sesar didapat dari hasil digitasi dari peta hidrogeologi Kabupaten Bandung.

Kedua, informasi hidrogeologi. Informasi ini didapat dari hasil digitasi Peta Hidrogeologi daerah Kabupaten Bandung dengan skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 1991. Peta hidrogeologi kemudian diturunkan menjadi peta air tanah dan produktivitas akuifer. Menurut SNI nomor 03-3241-1994, jika tidak ada daerah yang memiliki karakteristik hidrogeologi yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, dalam pemilihan TPA di suatu lokasi harus dilengkapi dengan masukan teknologi dengan tujuan agar air resapan sampah tidak mencemari sumber air dan akuifer setempat.

Terdapat beberapa alternatif metoda yang dapat diterapkan jika daerah potensi buangan sampah tidak memenuhi kriteria hidrogeologi yang ditentukan. Alternatif tersebut ialah :

* Pelapisan lahan uruk dengan geomembran dengan spesifikasi yang diharapkan. Teknik ini memiliki kekurangan yaitu mahalnya lapisan geomembran tersebut.

* Pelapisan lahan uruk dengan tanah liat. Lahan uruk yang disiapkan menjadi TPA dilapisi dengan tanah liat yang memiliki karakteristik kelulusan yang rendah sehingga dapat mencegah merembesnya air lindi dari TPA. Kekurangan dari teknik ini ialah sulitnya mendapatkan tanah liat dalam jumlah besar dan mendatangkannya ke area TPA.

* Dengan pemadatan tanah setempat. Teknik ini memiliki memiliki kekurangan karena rendahnya tingkat pengamanan rembesan lindi.

Ketiga, informasi kemiringan. Pembuatan peta kemiringan didapat dengan menurunkan kontur yang didapat dari hasil seleksi layer peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 edisi 1 tahun 1999 oleh Bakosurtanal. Kontur tersebut kemudian dikembangkan menjadi data tinggi (DEM) yang selanjutnya dapat menghitung nilai kemiringan (slope).

Keempat, peta tata guna lahan. Peta tata guna lahan didapat dari hasil klasifikasi visual citra satelit SPOT-5. Dengan resolusi spasial 2.5 m x 2.5 m, citra SPOT-5 telah mencukupi untuk mengidentifikasi perumahan, bandara dan hutan.

Hasil studi awal

Dalam penentuan lokasi TPA di Cekungan Bandung, seluruh TPA usulan tidak berada dalam zona bahaya geologi yang digambarkan dalam Peta Bahaya Geologi seperti yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Lokasi TPA usulan juga berada dalam jarak yang diperbolehkan (100 m) terhadap sumber air minum yang dalam hal ini ialah sungai dan lokasi sumur-sumur yang dibangun oleh masyarakat.

Lokasi TPA usulan berada diatas tanah berjenis sedimen lempung yang didalamnya terdapat akuifer produktif dengan sistem aliran tanah ruang antarbutir (Peta Hidrogeologi Kabupaten Bandung dan Peta Geologi Tata Lingkungan, Direktorat Geologi Tata Lingkungan).

Tanah berjenis sedimen lempung termasuk tanah yang berpotensi untuk dijadikan lokasi TPA menurut Peta Geologi Tata Lingkungan, namun keberadaan air tanah berjenis sedang dengan penyebaran luas membuat kekhawatiran akan terjadinya pencemaran air tanah akibat terjadinya rembesan air sampah. Jika ini terjadi, kondisi hidrogeologi di daerah tempat TPA usulan tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Menurut SNI nomor 03-3241-1994, jika tidak ada daerah yang memiliki karakteristik hidrogeologi yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, dalam pemilihan TPA di suatu lokasi harus dilengkapi dengan masukan teknologi dengan tujuan agar air resapan sampah tidak mencemari sumber air dan akuifer setempat. Dalam daerah studi yang dijadikan objek penelitian, terdapat daerah yang sesuai dengan kriteria hidrogeologi yang sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam SNI, namun di daerah tersebut telah memiliki tata guna lahan tersendiri yang mengakibatkan darah tersebut menjadi tidak cocok untuk dijadikan TPA.

Dari pengklasifikasian secara visual pada Citra SPOT-5 tahun 2004, tata guna lahan pada TPA usulan berada dalam daerah hijau (dapat berupa padang rumput, ilalang, ataupun persawahan). Seluruh wilayah lokasi TPA usulan berada pada jarak sejauh minimal 500 m dari pemukiman penduduk. Dengan demikian, terdapat daerah yang dapat dijadikan buffer pada radius 500 m untuk meminimalisasi tingkat kebisingan dan bau yang diakibatkan aktivitas yang ada di TPA. Daerah buffer sejauh 500 m dapat meminimalisasi kekhawatiran jatuhnya korban jiwa dan harta jika terjadi kecelakaan seperti yang terjadi pada bencana longsoran sampah di TPA Leuwigajah. Dari segi estetika, buffer sejauh 500 m juga dapat membantu menyembunyikan sampah dari pandangan mata, apalagi jika ditambah dengan bangunan penutup untuk menyembunyikan keberadaan sampah.

Demikian studi awal penentuan lokasi TPA di Cekungan Bandung yang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan SIG sehingga hasil awal ini dapat dijadikan langkah awal dalam menentukan TPA yang ideal pada masa mendatang. Terlebih akan dikembangkannya Kota Bandung sebagai kota metropolitan. Semoga.***

Ketut Wikantika1,2, Helgi Birliansyah2, Tri Padmi Damanhuri3

1Pusat Pengindraan Jauh – ITB.

2Kelompok Keahlian Pengindraan Jauh dan Sains Informasi Geografis, FTSL - ITB.

3Kelompok Keahlian Teknologi Manajemen Kualitas Udara dan Limbah Padat, FTSL - ITB.