Monday, October 09, 2006

Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG


Republika, Rabu, 20 Oktober 2004

Corporate social responsiblity dalam prinsip good coorporate government (GCG) ibarat dua sisi mata uang. Keduanya sama penting dan tidak terpisahkan. Salah satu dari empat prinsip GCG adalah prinsip responsibility (pertanggung jawaban). Tiga prinsip GCG lainnya adalah fairness, transparency, dan accountability.

Ada perbedaan yang cukup mendasar antara prinsip responsibility dan tiga prinsip GCG lainnya. Tiga prinsip GCG pertama lebih memberikan penekanan terhadap kepentingan pemegang saham perusahaan (shareholders) sehingga ketiga prinsip tersebut lebih mencerminkan shareholders-driven concept. Contohnya, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transparency), dan fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi (accountability).

Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Karena itu, prinsip responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Barangkali timbul di benak pembaca, ''Apa sih stakeholders perusahaan itu?'' atau ''Siapa saja sih stakeholders perusahaan itu?''

'Stakeholders perusahaan' dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat, dan lingkungan sekitar, serta pemerintah selaku regulator. Perbedaan bisnis perusahaan akan menjadikan perusahaan memiliki prioritas stakeholders yang berbeda.

Sebagai contoh, masyarakat dan lingkungan sekitar adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan pertambangan seperti PT Aneka Tambang, Tbk., dan Rio Tinto. Sementara itu, konsumen adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble.

Dari penjelasan tersebut, terutama ''menciptakan nilai tambah pada produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan,'' prinsip responsibility GCG menelurkan gagasan corporate social responsibility (CSR) atau ''peran serta perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya.''

Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan.

Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contohnya kasus Indorayon di Sumatera Utara.

Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebagai contoh, boikot terhadap produk sepatu Nike oleh warga di negara Eropa dan Amerika Serikat terjadi ketika pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika diberitakan mempekerjakan anak di bawah umur.

Contoh lainnya adalah penerapan kebijakan dalam pemberian pinjaman dana oleh bank-bank Eropa. Umumnya bank-bank Eropa hanya akan memberikan pinjaman kepada perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yaitu pada saat membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.

Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktek CSR.

DJSI dipraktikkan mulai 1999. Begitu pula dengan London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001. Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan investasinya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam indeks dimaksud.

Menghadapi tren global tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta melaporkan kepada stakeholder-nya setiap tahun. Laporan bersifat nonfinansial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, diantaranya Sustainability Reporting Guidelines yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) dan ValueReporting yang digagas perusahaan konsultan dunia Pricewaterhouse Coopers (PwC).

Kita semua berharap bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia tidak hanya memperhatikan sisi GCG dan melupakan aspek CSR. Karena kedua aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.

Sita Supomo, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
E-mail: fcgi_probis@yahoo.com, fcgi@fcgi.or.id
homepage: www.fcgi.or.id, Faksimile:021-7983623<>  ( )

CSR, Elemen Utama Tata Laksana Kemasyarakatan yang Baik

Republika, Minggu, 17 September 2006

Kesuksesan korporat, tidak hanya ditentukan keberhasilan bisnisnya. Tetapi juga kemampuannya menyukseskan program memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Dalam lima tahun terakhir di Indonesia, kian banyak perusahaan melaksanakan corporate social responsibility (CSR) atau juga community development (CD). Bahkan kini, semakin giat organisasi dan sektor swasta, serta kantor pemerintahan yang memasukkan CSR dalam agenda prioritas organisasi.

Tanggung jawab korporat, telah menjadi isu penting. Tak saja dalam kegiatan bisnis, tetapi juga dalam teori dan hukum, politik dan ekonomi. Kesuksesan korporat, tidak saja ditentukan oleh keberhasilan bisnisnya. Tetapi juga kemampuannya menyukseskan program memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sayang, saat ini masih bayak program-program CSR yang sifatnya ad hoc (sementara) saat terjadi bencana alam. Padahal, tanggung jawab atau kepedulian korporat terhadap lingkungan sekitarnya, terbukti akan menghasilkan kinerja bisnis yang baik.

Responsible business is good business. Kesimpulan ini terangkum dalam Konferensi CSR yang diselenggarakan Indonesia Business Links (IBL) pada Sabtu-Ahad (7-8/9) pekan lalu di Jakarta.

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Dr Boediono saat membuka konferensi ini mengatakan, CSR merupakan elemen prinsip dalam tata laksana kemasyarakatan yang baik. Bukan hanya bertujuan memberi nilai tambah bagi para pemegang saham.

''Pada intinya, pelaku CSR sebaiknya tidak memisahkan aktifitas CSR dengan Good Corporate Governance. Karena keduanya merupakan satu continiuum (kesatuan), dan bukan merupakan penyatuan dari beberapa bagian yang terpisahkan,'' ujar Boediono.

Menurutnya, CSR tidak hanya mencakup apa yang seharusnya dilakukan, tapi juga melihat apa yang sebaiknya dijalankan. Ini, kata Menko, seringkali terlewat dan diremehkan. Seperti, mengeksploitasi birokrasi yang lemah dan menjalankan praktek penyuapan untuk melaksanakan program CSR-nya.

Sementara itu, Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar mengatakan, kesadaran akan pentingnya memasukkan kegiatan CSR sebagai salah satu aspek penting dalam kegiatan bisnis, justru akan mampu meningkatkan kegiatan bisnis secara bertanggung jawab.

''Kontribusi korporat dalam pembangunan dan pengembangan Indonesia (khususnya), tidak hanya ditentukan kegiatan bisnis, tetapi juga ditentukan seberapa besar kontribusi terhadap lingkungan sekitar,'' kata Erna yang berbicara tentang Corporate Contributions to Development in Indonesia.

Karena itu, Mantan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) di Era Pemerintahan Gus Dur ini terus mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk menunjukkan kontribusinya terhadap negeri ini. Tak hanya sebatas pada pembayaran pajak, tetapi juga kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar dalam pemberdayaan masyarakat. Erna Witoelar berharap, perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dan mengeruk keuntungan. Namun juga harus mampu memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya yang dianggap masih terbelakang. ''Banyak perusahaan yang hanya berupaya memperkaya dirinya sendiri. Mereka membiarkan masyarakat sekitar hidup dalam garis kemiskinan dan keterbelakangan.''

Sementara itu, GM External Affairs and Sustainable Development PT Kaltim Prima Coal (PKC), Harry Miarsono mendukung perusahaan-perusahaan untuk terus memberikan kontribusi terhadap masyarakat disekitarnya. Ia mengatakan, dalam melaksanakan program CSR dan Community Development, PT Kaltim Prima Coal (bergerak dalam pengolahan batu bara) telah menetapkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Berbagai program pengembangan masyarakat telah dirancang dan dijalankan agar bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal dan pembangunan wilayah. Program-program ini, lanjutnya, diharapkan bisa menyiapkan masyarakat yang mandiri menuju pembangunan berkelanjutan.

Sementara itu, Deputy Corporate Communication PT BMW Indonesia, Helena Abidin mengatakan, CSR bagi BMW Indonesa, tidak hanya sekadar memberikan sumbangan atau bantuan kepada masyarakat yang terkena bencana alam. ''CSR bagi kami justru akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan untuk semakin mendekatkan produk dan brand kami kepada masyarakat dan komunitasnya,'' kata Helena kepada Republika.

Ia menambahkan, perusahaan mestinya tidak hanya mengejar business oriented tetapi bisnis harus menjadi proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat. ''Sebagai perusahaan dari luar negeri, di Indonesia kami justru bisa belajar budaya masyarakat setempat sebagai proses transformasi budaya, teknologi dan sains,'' ujar Helena.

Karena itu, BMW Indonesia, kata Helena, sangat mendukung upaya-upaya pemerintah untuk mendorong dan memberikan kontribusi bagi pembangunan. ''Banyak perusahaan yang sukses tidak hanya berorientasi pada bisnis, tetapi juga karena kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitar dengan pemberdayaan masyarakatnya,'' jelasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan PR Manager Riaupulp, Fakhrunnas Jabbar dan Field Liaison Manager PT Newmont Pasific Nusantara, Katamsi Ginano. Menurut Fakhrunnas, sukses perusahaan juga didukung oleh kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, Fakhrunnas sangat mendukung dan mendorong tumbuhnya semangat ber-CSR di kalangan perusahaan-perusahaan.

''Sukses CSR tidak hanya ditentukan oleh tripple bottom line, tetapi juga prinsip license to operate, business sustainable, pure philantropy dan cause-related marketing,'' jelas Fakhrunnas. ''Good business (bisnis yang baik --red) juga disebabkan karena mereka memberi nilai dengan nilai. Bukan memberi nilai dengan materi,'' tambah Katamsi.
(sya )

Thendri Suprianto, Tidak Kenal Lelah Demi CSR

Republika, Minggu, 04 Juni 2006

Tiap kali berangkat ke masjid, orang tua kerap memberinya uang untuk ditaruh di tempat ibadah tersebut. Lebih 40 tahun berselang, pengalaman itu masih membekas di benak Thendri Supriatno. Kebiasaan itu dianggapnya sebagai edukasi untuk berbagi, seberapa pun kecilnya. Itu pula yang ikut mewarnai perjalanan hidup lelaki kelahiran Cirebon, 1 November 1956 ini. Meski telah bekerja di perusahaan mapan, ayah tiga anak ini aktif melakukan aktivitas di bidang Corporate Social Responsibility (CSR).

Konsep inilah yang akhirnya membuat Thendri mengambil keputusan besar. Mundur dari sebuah perusahaan besar yang mapan dan menjadi ketua Corporate Forum for Community Development (CFCD). Inilah lembaga nirlaba yang kini telah merangkul 120-an anggota yang berasal dari berbagai industri seperti pertambangan, rokok, komunikasi. ''Mereka sudah mulai menyadari bahwa CSR bukan sekadar mendapat image yang baik, bukan sekadar menjadi tontonan kedermawanan sosial.'' Saat wawancara dengan wartawan Burhanuddin Bella, Thendri mengungkap peran strategis CSR, perkembangannya kini, dan kekuatan di balik konsep yang semula berkembang di Eropa itu.

Bagaimana konsep CSR?
Ada tiga prinsip dasar CSR. Corporate harus bagus dalam tiga bottom line. Dulu kan hanya satu, untuk profit. Sekarang, harus juga bagus dalam bidang sosial dan lingkungan. Awalnya, orang berpikir kegiatan untuk lingkungan dan sosial itu sebagai cost. Corporate lalu menggunakannya sebagai kegiatan bersifat untuk image. Itu tidak salah. Tapi dalam perkembangannya, orang makin menyadari bahwa kegiatan CSR bukan semata-mata itu. Baik kepada masyarakat juga mendukung keuntungan. Dan itu tidak hanya perusahaan besar, tapi juga perusahaan kecil.

Bagaimana dengan keuntungan itu?
Misalnya, perusahaan yang baik kepada masyarakat, tidak memproduksi produk tidak sehat, mereka memproduksi secara bertanggung jawab. Akhirnya orang setia, orang percaya. Kepercayaan itu memengaruhi keuntungan perusahaan. Itulah evolusi CSR. Berikutnya, baik kepada lingkungan. Kesadaran akan kesinambungan lingkungan itu sendiri untuk daya dukung suplai. Jadi, kesinambungan dalam konsep CSR juga kesinambungan dalam corporate itu sendiri. Coba kita lihat. Lingkungan tidak sustainable, suplai tidak sustainable, perusahaan tutup. Artinya apa? Perusahaan itu tidak sustainable. Nah, dalam konsep CSR, corporate harus berpikir bahwa perusahaan itu juga harus sustainable.

Apa yang terjadi kalau perusahaan tidak menerapkan konsep CSR?
Pertama, suplai terganggu. Kedua, tuntutan hukum. Karena dia mencemari lingkungan, kemudian dituntut. Kalau dituntut sama masyarakat atau pemerintah, disuruh membayar penelitian besar, perusahaan itu punya potensi bangkrut. Jadi, tidak sustainable sebagai corporate.

Kenapa Anda begitu peduli dengan CSR?
Saya lihat ini akan memiliki dampak yang sangat luar biasa. Dengan saya gigih melakukan kegiatan ini, kira-kira begitu banyak yang akan mendapatkan manfaat. Pertama, corporate. Mereka harus sadar bahwa dengan melakukan CSR juga good for your business. Pemerintah juga harus sadar. Ada TPST Bojong. Sudah beberapa saat tidak beroperasi, friksi perusahaan dengan masyarakat akhirnya ditutup. Siapa yang dirugikan? Masyarakat dirugikan karena banyak yang dipecat, banyak pengangguran. pemerintah dirugikan karena income melorot. Perusahan rugi. Semua dirugikan. Sadar nggak sih bahwa social cost untuk bisnis di negeri ini begitu tinggi. Belum lagi biaya birokrasi dan sebagainya. Kalau semua cost tadi tinggi, bisa nggak kita berkompetisi dengan produsen dari Cina, Vietnam, India? Kira-kira menarik nggak Indonesia buat investasi? Itulah yang sebetulnya saya ingin promo.

Thendri sangat yakin. CSR adalah solusi. Ketika negeri aman, situasi kondusif, perusahaan bisa beroperasi secara profitable, pemerintah mendukung, rakyatnya kondusif, tidak ada demo, maka, ''Seharusnya ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.'' Namun, lebih dari itu, bakal hadir harmoni. Belum lagi adanya unsur transfer kekayaan dalam CSR. ''Bahkan sifatnya lebih langsung. Perusahaan membelanjakan uangnya untuk masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar sejahtera. Kalau sekian ribu perusahaan yang peduli terhadap masyarakatnya, berapa juta orang yang akan terberdayakan. Pertanyaannya, pemerintah bisa nggak melakukan sendiri?''

Bagaimana dengan Indonesia?
Corporate mulai menyadari bahwa melakukan hal yang baik kepada masyarakat juga memberikan keuntungan. Kesadaran itu mulai ada, tapi memang belum merata. Tidak semua perusahaan mulai menyadarinya. Banyak yang masih melaksanakan itu sebagai kosmetik saja.

Perusahaan apa yang sudah mulai menerapkan?
Umumnya kelas dunia, terutama perusahaan publik, banyak yang menerapkan. Ada yang bagus, ada yang masih baru belajar. Tapi, umumnya perusahaan publik. Untuk beberapa alasan. Pertama, mereka ngeh CSR itu sebagai risk management. Perusahaan yang menerapkan CSR antara lain untuk mengurangi risiko usaha. Karena ingin langgeng usahanya, maka risiko harus dikurangi. Misalnya, risko kerusakan lingungan. Andaikata perusahaan menerapkan dengan cara berpikir risk management saja, itu sudah bagus. Karena dengan begitu, sebetulnya sudah melaksanakan sebagian besar dari konsep manajamen risiko.

Bagaimana dengan peran pemerintah?
Saya tidak mengecam kegiatan untuk mendapatkan image. Tapi, akan lebih bagus lagi kalau negara mulai memikirkan itu. Karena peranan corporate sangat besar. Mereka memiliki kewirusahaan yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Mereka memiliki orang-orang terbaik. Rumusannya selalu begitu. Mereka juga memiliki manajemen dan sistem operasional yang baik. Kalau itu berbagi dengan masyarakat sekitar, mungkin dampaknya jauh lebih baik dibandingkan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Niat mencari untung kadang-kadang bisa berdampak yang lebih positif dibandingkan dengan niat untuk menyantuni. Kewajiban pemerintah melayani, tapi dalam banyak hal, yang motivasinya menarik keuntungan dapat melakukan lebih baik, mampu men-deliver lebih baik dibandingkan dengan pemerintah. Itu banyak buktinya.

Menurut Anda, kenapa itu belum bisa dilakukan?
Banyak aspek. Yang pertama pemahaman. Kedua, sistem kultur. Korupsi, ekonomi biaya tinggi, kemudian nepotisme. Itu menghalangi semua. Karena apa? Orang lebih menikmati, ya sudah. Dulu, waktu pemerintah begitu kuatnya, banyak perusahaan berlindung mendapatkan pengamanan dari mereka. Jujur saja, sebagian dari mereka juga menikmati kondisi seperti itu. Karena tidak pusing. Taruhlah 5 juta dolar dibelanjakan untuk pengamanan dan sebagainya, aman. Dan itu bisa berjalan puluhan tahun. Karena adanya nepotisme, adanya kolusi antara corporate dan government. Walaupun setelah reformasi terbukti, tentara tidak bisa mengawasi 24 jam, polisi tidak bisa mengawasi 24 jam. Sebetulnya, hak sepenuhnya perusahaan untuk mendapatkan perlindungan. Dengan melalui sistem perpajakan, dia sudah bayar pajak harus mendapatkan perlindungan. Tapi, itu tidak terjadi di kita. Pemerintah belum mampu melindungi corporate dengan baik. Kalau tidak setoran pungutan, tidak ditanggung keamanannya. Jadi, kenapa CSR belum diperhatikan di Indonesia, karena faktor-faktor tadi. Birokrasi yang berbelit, high cost economy, nepotism.

Saat ini bagaimana Anda memasyarakatkan konsep CSR?
Saya terus menerus, tidak kenal lelah. Lewat Corporate Forum for Community Development (CFCD), banyak industri yang sudah mulai menyadari bahwa CSR bukan sekadar mendapat image yang baik. Memang banyak perusahaan yang masih pada level itu, karenanya saya juga mengedukasi mereka. Kalau corporate, kami mengadakan kursus-kursus. Tapi, masih perlu waktu. Karenanya kami juga menjalin kerja sama dengan pemerintah. Saya kasih seminar di lingkungan Depsos. Karena apa? Kalau saya melihat, sekarang ini sudah tahapan bencana sosial, bukan lagi bencana alam. Demo yang tidak pernah berhenti, mahasiswa, masyarakat yang amuk terus, merusak fasilitas umum. Kita sangat prihatin. Buat saya, ini sudah bencana sosial. Saya bicara ini dengan menterinya (mensos), mari kita tingkatkan kesadaran itu.

Posisinya telah tinggi ketika memutuskan untuk mengundurkan diri dari Medco Energi. Kendati kehidupan nyaman telah diperolehnya selama ini, ternyata daya magnet CSR lebih kuat menarik. ''Hati saya tertarik dalam bidang CSR. Saya berpikir, saya ingin mendapatkan ruang yang lebih luas.'' Ada satu hal yang menggelitik peraih gelar master dari Hofstra University, New York, 1988 ini. ''Dengan saya mengepakkan sayap lebih luas, insya Allah, saya lebih bermanfaat buat banyak orang. Apa manfaat yang saya terima secara finansial, ya nggak tahu. Saya jalani saja.'' Tampaknya, keputusan yang dia ambil tepat. Namanya mulai dikenal. ''Tidak banyak memang uangnya, tapi saya bisa mendapatkan nilai yang jauh lebih besar dan kepuasan moral. Saya lebih happy karena saya merasa lebih bermanfaat bagi banyak orang.''

Sejak kapan pemahaman Anda pentingnya CSR?
Sebetulnya, pemahaman itu sudah empat tahun lalu, kemudian saya membentuk CFCD. Kerjanya, saya harus memberikan pemahaman yang sama pada pemerintah, mengedukasi masyarakat, juga kepada para pemuka agama. Saya sudah mengajak kelompok Aa Gym, kelompok Ary Ginandjar, Arifin Ilham. Marilah kita mengedukasi masyarakat lewat visi keagamaan. Karena mereka diedukasi, bukan diprovokasi.

Ada yang menginspirasi Anda?
Saya dari dulu sih, bawaan saja. Bahwa saya peduli terhadap masyarakat, saya risih dengan demo-demo yang begitu. Saya prihatin, negeri ini mau dibawa ke mana? Prihatin nilai-nilai runtuh, kegotongroyongan bubar, Bhinneka Tunggal Ika tidak diperhatikan, Pancasila diabaikan. Cara memperkenalkan Pancasila dulu mungkin kurang pas, tapi jangan benci Pancasilanya dong. Saya takut, negeri ini yang sudah dibangun dengan cucuran air mata dan keringat hanya akan menjadi negara yang compang-camping, apalagi kalau terpecah belah.

Masa kecil Anda bagaimana?
Saya memang dididik dalam lingkungan yang cukup baik keagamaannya. Orang tua saya selalu mengajarkan, kamu harus bekerja keras, harus berdoa, dan tidak pernah menjanjikan sesuatu. Pokoknya kamu harus maju, orang tua memberikan doa. Jadi, saya pede ke mana saja, karena orang tua saya memberikan doa dan mendukung saya. Saya tidak pernah punya ketakutan yang berlebihan, karena saya yakin doa orang tua menyertai. Orang tua juga tidak menuntut. Pokoknya do your best. Yang melekat sampai hari ini di hati saya, 'Kamu jangan pernah katakan bahwa orang lain lebih jelek, tapi tunjukkan bahwa kamu lebih baik. Nanti kamu tidak akan pernah melakukan sesuatu yang baik karena sibuk mengatakan orang lain jelek'.

Dengan pesan seperti itu, apakah Anda selalu the best?
Pengertian the best itu jangan diukur dalam pengertian artifisial. Kalau ditanya apakah saya selalu ranking di sekolah, tidak selamanya. Tapi bahwa saya selalu mendapatkan sekolah yang terbaik, yes. Saya dari SMA dapat beasiswa, kuliah di IPB. Setelah itu saya bekerja di sebuah perusahaan, saya dapat beasiswa lagi sekolah di Amerika. Dalam kehidupan saya, kayaknya Tuhan memberikan kemudahan. Apa kemudian tanggung jawab intelektual saya? Belum lagi tanggung jawab moral, tanggung jawab keagamaan. Sudahlah, saya tidak berani mengklaim banyak-banyak. Minimal tanggung jawab intelektual saya. Saya punya knowledge, saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak dibandingkan rata-rata anak sekampung saya di Cirebon. Boleh nggak saya manfaatkan untuk kebaikan banyak orang. Bukan cuma boleh, rasa-rasanya digugat kewajiban moral saya. Kemudian, saya bisa mengedukasi banyak orang. Banyak orang mau mendengarkan. Bukankah itu sebuah anugerah juga? Berapa sih kekuatan keuangan saya andaikata saya harus beramal dari segi uang? Tidak banyak. Tapi, dengan saya menggerakkan begitu banyak orang, minimal begitu banyak masyarakat mendapatkan manfaat. Masak Tuhan tidak kasihan sih sama saya, andaikata saya mati? Dari banyak dana yang dikucurkan corporate ke masyarakat, masak sih Tuhan tidak kasih accountingnya 0,000 sekian buat saya kalau mati. Simpel saja.
( )

Emil Salim

Republika, Minggu, 16 Juli 2006

Namanya boleh dibilang tidak pernah jauh dari isu lingkungan hidup. Kendati tidak lagi menjabat sebagai menteri, Prof Dr Emil Salim yang sempat menjadi menteri sepanjang 1971 hingga 1993 ini masih kerap diundang dalam pertemuan-pertemuan yang membahas masalah lingkungan di berbagai negara.

Sebuah persembahan untuk dedikasinya itu diperoleh sekitar akhir Juni lalu. Ketika itu doktor lulusan University of California, Berkeley, AS, 1964 ini kembali diundang menghadiri pertemuan menteri-menteri lingkungan di Jepang. Tak disangka, di negeri matahari terbit itu pria kelahiran Lahat, Sumatra Selatan, 8 Juni 1930 ini baru diberi tahu, namanya satu dari dua penerima penghargaan Blue Planet Prize ke-15 dari Yayasan Asahi Glass. `'Siapa yang mengusulkan, saya sendiri tidak tahu,'' tuturnya.

Emil dipilih karena konsepnya mengenai sustainable development bergema sampai ke dunia internasional. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini dianggap sebagai pionir dengan ide mengintegrasikan lingkungan dalam perencanaan pembangunan. Emil merupakan orang Indonesia pertama dan orang Asia ketiga di luar Jepang yang menerima penghargaan tahunan itu. Belum lama ini Emil Salim menerima Burhanuddin Bella dari Republika di rumahnya, bilangan Taman Patra, Kuningan, Jakarta. Tak hanya soal penghargaan itu, Emil juga mengungkapkan konsep sustainable development dan kondisi lingkungan saat ini. Petikannya:

Bagaimana ceritanya hingga ada penghargaan itu?
Saya ikut pertemuan menteri-menteri lingkungan yang diprakarsai oleh menteri lingkungan Jepang tanggal 24-25 Juni 2006. Jadi, tidak ada hubungan. Tapi rupanya, ada pengumuman ini (menunjuk surat pemberitahuan). Tapi, itu terpisah. Saya di sana lantas dikasih tahu ini (penghargaan). Intinya, ada dua orang yang terpilih dan, katanya, rupanya dari sejak kita 1972 menghadiri Stockholm, 1978 jadi menteri (Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup), terus sampai 2002, jadi 30 tahun.

Bagaimana sebenarnya konsep sustainable development itu?
Waktu 1978, persoalan yang Pak Harto tugaskan, jangan mempertentangkan pembangunan dan lingkungan. Bagaimana kedua itu bisa menyatu. Nah, itu yang kemudian menjadi dasar pemikiran, penyatuan lingkungan di dalam pembangunan.

Karena saya ekonom, maka pertama-tama saya lihat pada peranan pasar, sebab pembangunan menggunakan pasar dan pasar itu tidak menangkap isyarat lingkungan dan tidak menangkap isyarat sosial. Maka, bagaimana mempengaruhi pasar supaya kekekurangan tadi teratasi. Itu ada melalui kebijakan pajak, anggaran, subsidi, dan macam-macam. Itu satu permasalahan.

Permasalahan kedua, di dalam pembiayaan bisnis, pengusaha tidak memasukkan ongkos lingkungan ke dalam biaya. Jadi ketika tempo hari pertambangan boleh masuk hutan lindung, tidak memperhitungkan bahwa hutan lindung tidak menghasilkan barang, tapi menghasilkan jasa lingkungan. Mencegah banjir, udara bersih, tempat tinggal hewan, tumbuhan, dan macam-macam. Ini tidak masuk ke dalam biaya perusahaan sehingga pertambangan menguntungkan kalau membuka hutan lindung. Padahal, dengan hutan lindung dibuka, hutan habis, ada banjir nanti. Siapa yang memikul biaya banjir, kan rakyat. Jadi, konsepnya, memasukkan lingkungan dalam pembangunan.

Konsep ini ideal. Tapi bagaimana meyakinkan semua kalangan agar bisa sepaham?
Pertama, insentif. Maka lahir Kalpataru, Adipura. `'Kalau boleh salaman sama Presiden, potret.'' Itu kan insentif. Ada semacam kebanggaan. Kedua, undang-undang lingkungan. Tahun 1982, sudah ada UU Pengelolaan Lingkungan, sudah ada Amdal. Tapi masalahnya, enforcement. Ini kan menteri negara. Pelaksanaan oleh menteri-menteri terkait. Apakah yang melanggar Amdal ditindak? Apakah Amdal itu diperiksa? Apakah pelanggar yang mencemarkan dihukum? Itu persoalan. Maka, sekarang ada illegal logging, illegal fishing, illegal mining, illegal trading. Itu legal ada peraturan, tapi ilegal karena tidak mengikuti peraturan.

Ketika kali pertama diangkat menjadi menteri, orang pertama yang dihubungi Emil Salim adalah Buya Hamka. ''Buya Hamka bilang, kau pegang Alquran. Alquran yang mengatakan, telah tampak kerusakan di muka bumi karena ulah tangan manusia. Yang merusak bumi bukan binatang, bukan tumbuhan, tangan ini.''

Pada Emil, Buya berpesan untuk mendekati pondok pesantren dan ulama. Pondok Pesantren Annukaya, Guluk-guluk, Sumenep, Madura yang ketika itu dipimpin oleh KH Basyib adalah pihak yang sangat membantunya. ''Apa yang menarik? Madura itu kan kering. Tapi, di Guluk-guluk, ada hutan hijau.''

Rupanya, para santri di sana, atas perintah sang kiai, rajin menanam pohon. Ketika hal itu, ia tanyakan pada KH Basyib, dia mendapat penjelasan yang menyejukkan. `'Saya mengajarkan melaksanakan Islam. Untuk itu kita wajib shalat lima waktu. Untuk kesempurnaan shalat kita harus bersih dengan air wudhu. Supaya bersih maka air pun harus bersih. Air harus ada sungai. Sungai harus ada mata air. Mata air harus ada hutan. Jadi, saya tanam pohon supaya ada air, supaya ada air jernih, supaya kita bersih shalat, supaya sempurna shalat.'' Dia tidak tahu tentang lingkungan.

Sejak dulu apakah masalah lingkungan banyak pada soal law enforcement?
Persoalannya bukan hukum. Persoalannya adalah, orang bilang, kami ini lapar, kami ini perlu menebang kayu agar ada tanah untuk ditanam. Jadi, underdevelopment, ketertinggalan pembangunan, menjadi alasan untuk mengubah alam. Saya berkata, betul. Kita perlu berantas kemiskinan, kita perlu produksi pangan macam-macam, tapi yang saya ingin adalah, bukan dengan eksploitasi sumber daya alam, tapi dengan perkayaan sumber daya alam. Itu membawa lingkungan ke tengah-tengah arus pembangunan. Kalau kita ekspor kayu, kayu itu harganya berapa? Tapi, kalau kulit kayu kita ubah jadi obat, nilainya lebih tinggi. Kalau kita ekspor ikan, itu dagingnya. Tapi, di dalam ikan itu ada minyak ikan yang punya omega 9, omega 3. Lebih kaya. Itu menghendaki otak untuk mengubahnya. Kita punya, orang-orang kita tidak bodoh.

Kenapa sulit terlaksana?
Karena bagian terbesar mau cepat. Tebang kayu, ekspor, kan cepat. Umumnya orang berpikir jangka pendek.

Dengan berbagai bencana alam yang terjadi, apakah ini juga bagian dari pemikiran jangka pendek itu?
Bencana alam bukan hanya di Indonesia. Amerika, Eropa, Asia juga ada bencana alam. Semua menderita karena bencana alam. Apa yang terjadi kalau ada bencana alam? Mengapa ada penyakit avian flu, ada SARS. Apa itu semua? Para ahli berkata, memang bumi ini mengalami perubahan penting dalam makna meningkatnya suhu bumi. Jadi, ada global warning, pemanasan bumi. Akibat dari pemanasan bumi tersebut, temperatur naik, permukaan laut naik, iklim berubah.

Mestinya sekarang ini iklim kering. Toh ada hujan. Topan yang terjadi di Amerika, kenapa bisa begitu dahsyat, banjir begitu tinggi. Karena ada peningkatan laut, suhu, dan iklim. Iklim ini berangsur-angsur menjadi semakin panas. Kalau iklim semakin panas, maka bakteri-bakteri tumbuh. Itu menjadi penyebab dari lahirnya jenis penyakit baru. Avian flu, SARS, itu binatang dulu yang kena. Tapi waktu kena binatang, berimbas pada manusia. Jadi, ramalan orang adalah, akan ada bencana lebih banyak karena permukaan laut naik.

Khusus di Indonesia, apakah bencana alam yang terjadi di banyak daerah karena gejala alam atau ada andil manusia?
Secara makro, ada alam. Tapi begini, kalau saya pergi ke daerah, hutan jati di Jawa Timur habis. Pergi dari Sumatra Selatan ke Jambi, habis. Kalau saya tanya, kapan ini? Semua orang-orang berkata pada saya, sejak ada reformasi. Apa yang terjadi? Pada waktu 1999, sentral otoritas ke daerah. Nah, di daerah itu, pikiran adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ingat, bagaimana dapat PAD yang cepat? Tebang pohon, cepat sekali dapat hasil.

Setelah 1999, diikuti dengan desentralisasi, di mana ada pelimpahan hak untuk izin penebangan pada hutan-hutan beratus hektar. Dulu, harus ada izin macam-macam. Tapi, desentralisasi diikuti dengan pemilihan pejabat yang pikiran jangka pendek, seiring dengan lemahnya pegangan dari pemerintah pusat.

Ketika melihat situasi yang makin memprihatinkan itu, apa yang perlu dilakukan segera?
Kita mesti ke daerah sekarang, kita galakkan, 'Kau yang bertanggung jawab. Kalau banjir bukan Jakarta yang banjir. Yang banjir kan kamu, yang longsor kan kamu?'
Sekarang kelihatan toh, daerah bereaksi. Di Sinjai, sekarang ada wajib tanam. Jadi, kalau tadi bam bam bam (menebang), sekarang kesadaran wajib tanam. Tapi, saya kira kita mesti mendorong pemda-pemda untuk menyelamatkan lingkungan.

Menurut Anda, apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan setidaknya untuk Jakarta?
Belajar dari bencana-bencana ini, bahwa ini ada daya dukung lingkungan. Maksudnya, kemampuan alam mendukung pembangunan. Itu yang harus kita jaga. Kalau sedikit saja hujan terus banjir Jakarta, berarti daya dukung alam Jakarta sudah berat. Maka, kita harus membangun dengan memperhitungkan daya dukung alam.

Di mana alam sudah tidak bisa menopangnya, kita kurangi. Contoh, Jakarta jadi Botabek. Jakarta sangat padat. Jawaban saya adalah keluarkan `gula-gula' Jakarta, lempar keluar. Bayangkan kalau bandara internasional tetap di Kemayoran dan Halim, bubar. Coba bayangkan, kalau Cengkareng itu tidak dibangun, semua pelabuhan udara di Kemayoran atau di Halim, macet total Jakarta. Bayangkan kalau UI tetap di Salemba, bubar Salemba itu. Artinya, kalau kita lempar ke Cengkareng, lempar ke Depok, kita kurangi beban ini. Batasi Jakarta pada fungsi ibu kota negara. Jangan pikirkan pindahkan ibu kota dari Jakarta, karena kita ada Istana di sini, ada BI, ada yang besar-besar itu.

Di usianya yang menginjak 76 tahun, Emil Salim tidak kehilangan 'taring'. Sosok yang semasa mahasiswa itu terbilang aktif berorganisasi itu tetap terlihat lugas berbicara dan dengan nada teratur dan sistematis. Suami Roosminnie Roza itu tetap tangkas bertutur. Agaknya, kegemaran berdebat dan tidak gentar menghadapi siapa saja tetap melekat pada dirinya hingga kini. Terlebih untuk soal lingkungan. Pria peraih penghargaan Bintang Mahaputra Adiprana (1973) dan Satya Lencana Pembangunan (1982) ini tidak akan pernah reda berjuang untuk lingkungan.

Kini, hari-hari Emil Salim dijalani dengan kesibukan mengajar di Pascasarjana Universitas Indonesia dan Fakultas Ekonomi. ''Jadi, bolak-balik Salemba-Depok.'' Di luar itu, dia masih bergelut di beberapa LSM. Ada juga perkumpulan pemulihan keberdayaan masyarakat, untuk masyarakat yang benar-benar berada di bawah garis kemiskinan. ''Jadi, saya masih sering ke daerah, berputar-putar cek kegiatan, melihat-lihat negeri. Sampai ke Halmahera Selatan.'' Dan, Emil menjalani semuanya dengan senang hati. ''Matahari tetap terbit. Saya tidak mengerti ada post power syndrom. Masih banyak sekali jalur-jalur yang bisa kita tempuh.''

Benarkah segala bencana yang terjadi ini karena dosa di masa lalu? Apakah memang butuh waktu lama hingga akhirnya saat ini baru terasa dampak lingkungan itu?
Dulu, kalau ada hujan, masih bisa bertahan. Tapi, kalau kemudian yang menahan itu hilang, ada hujan, hancur. Jadi bukan lama, tapi akar-akar pohon yang menahan itu hilang. Nah, kehilangan kemampuan memegang alam itu menyebabkan hujan, banjir.

Ada berbagai peta, 1950, 1960, 1970, 1980, 2000, kita lihat, menciut hutan. Itu perbuatan manusia, bukan alam. Dulu, 1980-an, 600 ribu hektare hutan habis, sekarang 3 juta hektare. Kenapa itu? Karena izin dari industri kayu lebih banyak dibandingkan dengan kayu yang bisa ditebang secara tebang pilih. Dulu harus tebang pilih, jadi yang lebarnya 60 cm bisa ditebang. Dengan begitu, maka jumlah kayu yang ditebang harus bertemu dengan industri yang cocok jumlahnya. Tapi, industri terus tambah, naik. Janjinya dulu, ada hutan tanam industri. Ini tidak jalan. Maka ini mengambil hutan alam.

Kalau begitu, kondisi sekarang lebih rumit dari masa lalu?
Lebih rumit. Lebih lagi, dulu ini presiden, ini DPR (sambil mengangkat kedua tangan yang tidak sama tinggi). Sekarang begini (kedua tangan sama tinggi). Hitam kata presiden, belum tentu DPR terima. Berdebat terus. Situasi ini menghabiskan waktu. Belum lagi di dalam DPR muncul politicking. Karena orang bicara, bukan bicara kepentingan rakyat lagi. Mereka bicara `'Nanti 2009 aku mesti menang, misalnya itu.'' Dulu, itu tidak ada. Aku mau lingkungan, aku mau tebang pilih, bagaimana itu jalan. Sekarang, `Kira-kira apa ya yang bisa laku 2009?'

Anda sendiri, apa yang Anda mimpikan sekarang?
Saya ingin membentuk Fakultas Ilmu Lingkungan. Tapi, itu mengharuskan ada 20 doktornya. Sekarang baru ada delapan, kita perlu 20 orang doktor di bidang itu.

Andai diminta kembali jadi menteri, Anda bersedia?
Kita sudah senja, sudah `maghrib'. Menteri sebaiknya yang masih `subuh', lebih baik dan lebih fresh. Hari masih panjang, buat apa pakai yang `maghrib'?
( )

Tuesday, February 21, 2006

Sampai Saat Ini Longsoran Sampah Dibiarkan Begitu Saja

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah harus segera melakukan penataan fisik dan lingkungan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Leuwigajah, terlepas apakah TPA itu akan ditutup selamanya atau digunakan lagi.

Sementara itu, karena belum juga mendapat tempat pembuangan akhir (TPA) baru, Pemkot Cimahi memutuskan untuk membuang sebagian sampahnya ke TPA Pasir Impun milik Pemkot Bandung, mulai Jumat (1/4) ini. Pengangkutan sampah akan ditangani pengusaha Istana Grup yang menyatakan kesediaannya membantu Kota Cimahi, Kota. Bandung, dan Kab. Bandung.

Prof. Enri Damanhuri dari Departemen Teknik Lingkungan FTSP ITB pada lokakarya "Mitigasi Ancaman Bencana di TPA Sampah" di Pusat Pendidikan Keahlian Teknik (Pusdiktek) Jln. Abdul Halim Bandung, Kamis (31/3), menyebutkan, "Saat ini, longsoran sampah dibiarkan begitu saja. Hal itu tentunya akan mengakibatkan permasalahan lingkungan sekitar TPA. Lindi (air larutan sampah) yang tidak terkendali akan mencemari air di hilirnya. Belum lagi bau dan lalat."

Menurutnya, dari hasil penelitian kondisi geoteknik dan hidrogeologi disimpulkan, lokasi TPA Leuwigajah terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan agak terjal (lebih dari 30%). Pada musim kemarau dengan dengan curah hujan sedikit, lokasi ini akan menjadi daerah resapan. Namun, pada musim hujan, akan berubah menjadi daerah pengeluaran air yang muncul dalam bentuk mata air musiman.

"Kondisi itu membutuhkan drainase di bawah dasar (under drainage) untuk mengalirkan air agar tidak masuk ke dalam timbunan sampah," kata Enri.

Ditambahkan, hampir semua pemerintah daerah tidak mempunyai alternatif lain bila TPA mereka mengalami gangguan. Bahkan, mereka tidak mempunyai pengalaman dalam menangani sampah secara baik dan berkesinambungan. "Buktinya, dengan tidak berfungsinya TPA Leuwigajah, ketiga daerah sibuk mencari alternatif. Pemkot Bandung mencoba mencari alternatif dengan memanfaatkan TPA yang telah lama ditutup seperti TPA Cicabe dan Pasir impun. Tapi sampai berapa lama?" ujarnya.

Untuk itu, dalam jangka pendek keberadaan TPA akan sangat diperlukan. Mengingat kebutuhan lahan TPA yang sangat besar, TPA Leuwigajah akan tetap menjadi andalan. Namun, ke depan, harus dibentuk sebuah pengelolaan tunggal yang dapat diterima oleh ketiga pemerintah daerah.

Diangkut ke Jelekong

Mengenai rencana pengangkutan sampah dari Cimahi ke TPA Pasir Impun, Wali Kota Cimahi Itoch Tohija menyebutkan, mulai besok (Jumat, 1/4), Istana Grup akan membantu mengangkut 5.000 m3. Selain Cimahi, pengusaha itu juga membantu Kab. Bandung sebanyak 5.000 m3 dan Kota Bandung 10.000 m3," katanya usai menghadiri ekspos salah satu investor dari Kanada yang tertarik mengelola TPA Leuwigajah Cimahi di Balai kota Cimahi, Kamis (31/3).

Karena belum memiliki TPA baru, tumpukan sampah di Kota Cimahi sebagian besar masih tertahan di TPS-TPS. Upaya komposting yang dikembangkan Pemkot Cimahi belum banyak berarti mengurangi jumlah sampah, sebab volume sampah di Kota Cimahi mencapai 1.150 m3/hari. Sebelum musibah longsor saja, sampah yang terangkut hanya 450 m3/hari. Jadi, masih ada 700 m3/hari sampah yang belum terangkut. Pascalongsor, dari 1.150 m3 sampah hanya 70-80 m3 sampah/hari yang bisa dibuang ke TPA Jelekong. Dengan demikian, selama itu pula, sampah masih menumpuk di TPS dan rumah-rumah. (A-115/A-136)***

Pengindraan Jauh dan SIG untuk Mencari Lokasi TPA

SAMPAH menjadi isu fenomenal di Kota Bandung. Sampai ditulisnya artikel ini, bukit-bukit sampah masih bermunculan di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini. Pemandangan kotor disertai bau menyengat menjadi suasana sehari-hari warga kota berjuluk Parijs van Java ini. Ada apa dengan sampah di Kota Bandung? Sepertinya sangat sulit untuk mencari lokasi TPA lain sejak ditutupnya TPA Leuwigajah. Tidak adakah cara yang lebih efektif untuk menentukan lokasi TPA baru di Kota Bandung?

Penentuan lokasi TPA berdasarkan SNI

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 03-3241-1994 yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ialah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah. TPA juga tempat untuk menyingkirkan atau mengarantina sampah kota sehingga aman. Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA (SNI nomor 03-3241-1994 ). TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan tiga tahapan. Pertama, tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.

Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak layak. Dari sisi kondisi geologi, tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona bahaya geologi. Dari sisi kondisi hidrogeologi, tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm / det, jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran, dan dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, maka harus diadakan masukan teknologi.

Kemiringan zona harus kurang dari 20%, jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain, dan tidak boleh pada daerah lindung / cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun.

Kedua, kriteria penyisih, yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria iklim (intensitas hujan yang makin kecil dan arah angin dominan tidak menuju ke permukiman), utilitas (lebih lengkap), lingkungan biologis (habitat kurang variatif dan kurang menunjang kehidupan flora/fauna) , kondisi tanah (tidak produktif, dapat menampung lahan lebih banyak, punya tanah penutup, status tanah bervariasi), demografi (kepadatangan penduduk rendah), kebisingan (banyak zona penyangga), batas administras (di dalam), estetika (tak terlihat dari luar), bau (banyak zona penyangga), dan ekonomi (biaya santunan kecil).

Ketiga, kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.

Di samping kriteria yang disebutkan diatas, terdapat pula kriteria khusus yang ditinjau dari segi geologi. Berdasarkan ketentuan kriteria regional dan penyisih di atas, dicoba untuk mencari lokasi TPA baru di Cekungan Bandung dengan memanfaatkan teknologi pengindraan jauh dan SIG (Sains Informasi Geografis).

Pengindraan jauh dan SIG

Ada beberapa informasi tematik yang diperlukan dalam penentuan lokasi TPA di Cekungan Bandung. Pertama, informasi geologi. Sebagian besar didapat dari peta resiko dan bahaya geologi teknik daerah Cekungan Bandung dan Cianjur dengan skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Peta ini menggambarkan daerah banjir, daerah resiko aliran lahar, daerah risiko gerakan tanah, dan daerah dengan fondasi tanah buruk. Keberadaan sesar didapat dari hasil digitasi dari peta hidrogeologi Kabupaten Bandung.

Kedua, informasi hidrogeologi. Informasi ini didapat dari hasil digitasi Peta Hidrogeologi daerah Kabupaten Bandung dengan skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 1991. Peta hidrogeologi kemudian diturunkan menjadi peta air tanah dan produktivitas akuifer. Menurut SNI nomor 03-3241-1994, jika tidak ada daerah yang memiliki karakteristik hidrogeologi yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, dalam pemilihan TPA di suatu lokasi harus dilengkapi dengan masukan teknologi dengan tujuan agar air resapan sampah tidak mencemari sumber air dan akuifer setempat.

Terdapat beberapa alternatif metoda yang dapat diterapkan jika daerah potensi buangan sampah tidak memenuhi kriteria hidrogeologi yang ditentukan. Alternatif tersebut ialah :

* Pelapisan lahan uruk dengan geomembran dengan spesifikasi yang diharapkan. Teknik ini memiliki kekurangan yaitu mahalnya lapisan geomembran tersebut.

* Pelapisan lahan uruk dengan tanah liat. Lahan uruk yang disiapkan menjadi TPA dilapisi dengan tanah liat yang memiliki karakteristik kelulusan yang rendah sehingga dapat mencegah merembesnya air lindi dari TPA. Kekurangan dari teknik ini ialah sulitnya mendapatkan tanah liat dalam jumlah besar dan mendatangkannya ke area TPA.

* Dengan pemadatan tanah setempat. Teknik ini memiliki memiliki kekurangan karena rendahnya tingkat pengamanan rembesan lindi.

Ketiga, informasi kemiringan. Pembuatan peta kemiringan didapat dengan menurunkan kontur yang didapat dari hasil seleksi layer peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 edisi 1 tahun 1999 oleh Bakosurtanal. Kontur tersebut kemudian dikembangkan menjadi data tinggi (DEM) yang selanjutnya dapat menghitung nilai kemiringan (slope).

Keempat, peta tata guna lahan. Peta tata guna lahan didapat dari hasil klasifikasi visual citra satelit SPOT-5. Dengan resolusi spasial 2.5 m x 2.5 m, citra SPOT-5 telah mencukupi untuk mengidentifikasi perumahan, bandara dan hutan.

Hasil studi awal

Dalam penentuan lokasi TPA di Cekungan Bandung, seluruh TPA usulan tidak berada dalam zona bahaya geologi yang digambarkan dalam Peta Bahaya Geologi seperti yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Lokasi TPA usulan juga berada dalam jarak yang diperbolehkan (100 m) terhadap sumber air minum yang dalam hal ini ialah sungai dan lokasi sumur-sumur yang dibangun oleh masyarakat.

Lokasi TPA usulan berada diatas tanah berjenis sedimen lempung yang didalamnya terdapat akuifer produktif dengan sistem aliran tanah ruang antarbutir (Peta Hidrogeologi Kabupaten Bandung dan Peta Geologi Tata Lingkungan, Direktorat Geologi Tata Lingkungan).

Tanah berjenis sedimen lempung termasuk tanah yang berpotensi untuk dijadikan lokasi TPA menurut Peta Geologi Tata Lingkungan, namun keberadaan air tanah berjenis sedang dengan penyebaran luas membuat kekhawatiran akan terjadinya pencemaran air tanah akibat terjadinya rembesan air sampah. Jika ini terjadi, kondisi hidrogeologi di daerah tempat TPA usulan tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Menurut SNI nomor 03-3241-1994, jika tidak ada daerah yang memiliki karakteristik hidrogeologi yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, dalam pemilihan TPA di suatu lokasi harus dilengkapi dengan masukan teknologi dengan tujuan agar air resapan sampah tidak mencemari sumber air dan akuifer setempat. Dalam daerah studi yang dijadikan objek penelitian, terdapat daerah yang sesuai dengan kriteria hidrogeologi yang sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam SNI, namun di daerah tersebut telah memiliki tata guna lahan tersendiri yang mengakibatkan darah tersebut menjadi tidak cocok untuk dijadikan TPA.

Dari pengklasifikasian secara visual pada Citra SPOT-5 tahun 2004, tata guna lahan pada TPA usulan berada dalam daerah hijau (dapat berupa padang rumput, ilalang, ataupun persawahan). Seluruh wilayah lokasi TPA usulan berada pada jarak sejauh minimal 500 m dari pemukiman penduduk. Dengan demikian, terdapat daerah yang dapat dijadikan buffer pada radius 500 m untuk meminimalisasi tingkat kebisingan dan bau yang diakibatkan aktivitas yang ada di TPA. Daerah buffer sejauh 500 m dapat meminimalisasi kekhawatiran jatuhnya korban jiwa dan harta jika terjadi kecelakaan seperti yang terjadi pada bencana longsoran sampah di TPA Leuwigajah. Dari segi estetika, buffer sejauh 500 m juga dapat membantu menyembunyikan sampah dari pandangan mata, apalagi jika ditambah dengan bangunan penutup untuk menyembunyikan keberadaan sampah.

Demikian studi awal penentuan lokasi TPA di Cekungan Bandung yang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan SIG sehingga hasil awal ini dapat dijadikan langkah awal dalam menentukan TPA yang ideal pada masa mendatang. Terlebih akan dikembangkannya Kota Bandung sebagai kota metropolitan. Semoga.***

Ketut Wikantika1,2, Helgi Birliansyah2, Tri Padmi Damanhuri3

1Pusat Pengindraan Jauh – ITB.

2Kelompok Keahlian Pengindraan Jauh dan Sains Informasi Geografis, FTSL - ITB.

3Kelompok Keahlian Teknologi Manajemen Kualitas Udara dan Limbah Padat, FTSL - ITB.